Sungguh terharu. Mengikuti kata per kata untaian pelajaran hadits waktu itu begitu menyentuh kalbu. Dalam temarang pemahaman yang panjang, terbayang derajat seorang anak manusia yang runtuh seketika, demi tahu bahwa kemuliaan bukan lagi atas dasar taqwa. Tetapi lebih karena faktor suka dan tidak suka semata. Makanya Allah sendiri yang turun tangan membenahi permasalahan itu. Memberikan nasehat, memberikan hukum. Yang karenanya menjadi pembelajaran umat bagaimana memperlakukan pasangan hidup dalam mengarungi bahtera rumah tangga dengan baik. Dialah Khaulah binti Tsa’labah istri Aus bin Shomit. Laporannya membuat Nabi Muhammad SAW mati kutu. Diam seribu bahasa. Sedangkan Aisyah yang mendengarkan, dibuat termangu meratapi nasib kaumnya. Di dalam Kitabu Thalaq, bab sumpah dhihar, Imam an-Nasa’i bercerita secara lugas, meriwayatkan sebuah hadits shahih dari Urwah bin Zubair, dia berkata, Aisyah berkata; “Maha Barokah Dzat yang memuat PendengaranNya pada tiap – tiap sesuatu. Sesungguhnya aku niscaya mendengar ucapan Khaulah binti Tsa’labah, akan tetapi terkadang samar atasku sebagian perkataannya, sedangkan dia melaporkan suaminya (yaitu Aus bin Shomit) kepada Rasulullah SAW. Dia berkata, “Wahai Rasulullah, suamiku telah mengambil masa mudaku dan aku memperbanyak baginya anak dari perutku sampai akhirnya sekarang aku menjadi tua dan tidak bisa beranak kembali, tetapi kemudian suamiku sumpah dhihar kepadaku. Ya Allah, sesungguhnya aku lapor kepadaMu.” Maka tidak henti – henti Khaulah melaporkan permasalahannya sehingga Jibril turun dengan membawa ayat berikut; “ Niscaya sungguh Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan pengaduan kepadamu tentang suaminya, dan melaporkan permasalahannya kepada Allah. Dan Allah mendengar pertengkaran/perdebatan antara keduanya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (al Mujadalah:1)
Inilah momentum penting dalam perjalanan sejarah umat manusia, yang mengakui eksistensi wanita sebagai penggembala rumah tangga. Bagaimana martabat seorang wanita dimuliakan dalam sebuah biduk rumah tangga sebab peran pentingnya. Bagaimana hubungan ditegakkan dan atas dasar apa roda rumah tangga itu dijalankan. Gambaran umumnya tercermin dalam dalil di atas. Sungguh sangat menarik. Bagaimana bisa kepasrahan seorang wanita yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada seorang suami sampai habis masa mudanya, melahirkan banyak anak untuknya, mengabdi sepenuh hati, dan berjuang dengan totalitasnya lahir dan batin menjaga rumah tangganya, kemudian pada akhirnya mendapatkan perlakuan demikian di hari tuanya. Tidaklah bijak bagi suami berlaku semena-mena atas ketulusan dan ketaatan sang istri, apalagi karena alasan usia dan tidak menarik lagi di bola mata. Sudah uzur. Menyedihkan sekali jika hubungan semacam ini masih terjadi di kalangan umat ini. Ukurannya bukan mampu dan tidak. Standarnya bukan merasa bosan dan senang saja. Tetapi ketulusan, totalitas dan keikhlasan dalam menjalankan peran masing-masing dalam koridor pilihan dan kesempurnaan atas agama.
Kalau dalam riwayat lain diceritakan, apabila istri tidak hormat dan tidak mengagungkan suami, maka bidadari di surga menegur sang istri dan melaknatinya, maka dalam kasus ini terjadi sebaliknya. Yaitu teguran bagi sang suami yang harus bisa mengendalikan diri, tidak berbuat sesuka hati dan menyakiti kaum hawa, ketika mereka telah berbuat sepenuh hati dalam ketaatan sak pol kemampuannya. Jangan melihat kifaratnya dengan puasa dua bulan berturut-turut atau cuma – cuma memberi makan 60 orang miskin. Itu kecil. Itu mah gampang. Namun alangkah baiknya jika bisa memberi makna lebih dalam lagi dibalik konstektualnya. Yaitu menghargai dan mensyukuri peran-peran orang – orang di sekitar kita, tanpa berniat sedikitpun untuk mencampakkannya atau mencari-cari alasan saja. Apalagi jika semua amal dan tindakan itu dibalut dengan niat yang tulus, murni karena Allah. Kecantikannya akan terus nampak walau dimakan lapuk usia. Kebahagiannya terus terpancar Laksana matahari walau banyak yang menghalangi. Dan kekuatannya semakin mengakar karena berpegang dengan tamparnya Allah. Dan cintanya semakin besar menghiasi seluruh kisi – kisi hidup ini.
Jadikanlah Khaulah binti Tsa’labah sebagai perkeling jika timbul benih – benih kesemena-menaan diri kita kepada para istri. Bagaimana tidak, Umar bin Khathab pun meneladani dengan penuh pengagungan terhadap sosok ini. Ketika itu seperti biasa, Umar bin Khathab berjalan mengelilingi Kota Madinah. Dia ditemani salah seorang sahabatnya, yaitu Ma’la bin Al Jarud. Mereka berpapasan dengan seorang perempuan tua.
”Wahai Umar,” ujar wanita itu, ”Dahulu kami mengenalmu di pasar ‘Ukadz’ sebagai Umair (Umar kecil), lalu menjadi Umar (pemuda yang perkasa) dan kemudian menjadi Amirul Mukminin. Perhatikanlah keadaan manusia di sekelilingmu. Barang siapa takut kepada Allah, perjalanan hidup yang jauh akan terasa dekat olehnya dan orang yang takut pada kematian ia akan khawatir bila hidupnya berakhir sia-sia.”
Umar bin Khathab sosok sahabat yang masyhur dengan kegagahan dan keberaniannya itu mendadak menangis. Air matanya berurai, seolah ia dihadapkan pada sebuah peristiwa memilukan. Ibnu al Jarud terkejut. Belum pernah ia melihat Umar takluk pada seseorang, seberingas apa pun dia. Kali ini ia tunduk mendengar perkataan seorang wanita renta.
Ibnu Al Jarud meminta wanita tua itu berhenti berbicara keras pada Amirul Mukminin. Tapi, Umar menyergahnya, ”Tahukah engkau siapa dia? Dia adalah Khaulah binti Tsa’labah, perempuan yang didengar pengaduannya oleh Allah SWT. Demi Allah jika ia berdiri hingga malam, akan aku dengarkan perkataannya kecuali waktu shalat.”
Isteri –isteri kita memang bukan Khaulah, tetapi jangan perlakukan mereka seperti apa yang menimpa kepadanya.
Oleh: Ustadz.Faizunal Abdillah