Dalam ingatan yang mendalam pada diri ini, setiap makanan atau masakan yang enak pasti dihidangkan Ibu saya pertama kali buat Bapak. Setelah itu baru kepada anak – anaknya. Sedangkan Ibu cukup sisanya saja. Ibu sering bilang sebagai pengagungan kepada Bapak, yang sudah susah – payah mencari rejeki. Akibatnya setiap kali makanan Bapak sisa pasti jadi rebutan. Sedangkan Ibu kadang dapat bagian, kadang gak dapat apa – apa. Malah – malah menyerahkan bagiannya kepada anaknya karena berebut makanan. Di depan Ibu semua makanan itu enak, makanan yang nggak enak pun; pahit misalnya, dia sering katakan enak, enak, sambil lahap memakannya. Anaknya pun terheran – heran melihatnya.
Setelah beristri, saya juga mendapatkan perlakuan serupa dari istri. Setelah merenung, tercetuslah dalam sanubari saya sesuatu yang indah dibalik pengagungan itu. Sikap mendahulukan orang lain dan mengakhirkan diri sendiri dengan menghormat suami adalah hal luar biasa. Begitulah (seharusnya) potret mengagungkannya seorang istri kepada suami, cermin sebuah kepemimpinan diri yang rela menjadi orang terakhir yang mendapatkan bagian.
Secara tidak sengaja saya menemukan kiat kepemimpinan ini dari sebuah hadits panjang Abu Huroiroh yang bercerita tentang segelas susu. Dari Abu Huroiroh ra., dia mengatakan, ‘Demi Allah yang tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain-Nya, sungguh aku pernah menempelkan perutku ke tanah karena lapar, dan pernah mengikatkan batu di perutku karena lapar. Suatu hari aku duduk di jalan yang biasa dilewati oleh para sahabat saat keluar, lalu Abu Bakar lewat dan aku bertanya kepadanya tentang suatu ayat, dan tidaklah aku bertanya kepadanya kecuali agar dia memberiku makan, namun dia lewat tanpa melakukan apa yang kuinginkan. Kemudian setelah itu lewat Umar, dan aku bertanya kepadanya tentang suatu ayat, dan tidaklah aku bertanya kepadanya kecuali agar dia memberiku makan, namun dia lewat tanpa melakukan apa yang kuinginkan.
Kemudian setelah itu Abul Qosim SAW lewat dan beliau tersenyum saat melihatku. Beliau mengetahui apa yang tersirat diwajahku dan terbersit dalam jiwaku. Kemudian dia bersabda, “Wahai Abu Huroiroh!” Aku menjawab, ‘Labbaik, wahai Rasulullah.’ Beliau bersabda, “Ikutlah denganku.”
Kemudian beliau lewat dan aku mengikutinya. Lalu beliau hendak masuk rumah, beliau meminta izin dan setelah mendapatkan izin untuk masuk, beliau masuk dan mendapatkan susu dalam sebuah wadah (kendi), maka beliau bertanya, “Dari mana susu ini?” Penghuni rumah menjawab, ‘Fulan atau Fulanah menghadiahkannya kepadamu.’ Beliau bersabda, “Wahai Abu Huroiroh!” Aku menjawab, ‘Labbaik, wahai Rasulullah.’ Beliau SAW bersabda, “Temuilah Ahlus Shuffah dan undanglah mereka ke sini.”
Abu Huroiroh mengatakan, Ahlus Shuffah adalah tamu islam, mereka tidak bernaung pada keluarga dan harta atau pada seseorang. Apabila Nabi mendapatkan sedekah, beliau mengirimkannya kepada Ahlus Shuffah, tanpa mengambil sedikitpun darinya. Sedangkan apabila beliau diberikan hadiah, maka beliau mengirimkannya kepada Ahlus Shuffah dan mengambilnya sedikit dan menikmatinya bersama mereka. Ini (perintah untuk mengundang Ahlus Shuffah) membuatku merasa tidak enak. Aku mengatakan dalam hatiku, ‘Apalah arti sekendi susu ini bagi ahlus Shuffah. Aku berhak mendapat seteguk susu ini agar aku mendapatkan kekuatan. Jika mereka sudah datang, pastilah Rasulullah SAW menyuruhku untuk memberikannya kepada mereka. Dan aku tidak tahu apakah susu ini akan sampai pada giliranku?’
Akan tetapi taat kepada Allah dan Rasulnya adalah suatu keharusan, maka akupun mendatangi mereka dan mengajak mereka. Mereka datang dan meminta izin untuk masuk. Rasulullah SAW mempersilahkan mereka masuk dan mereka duduk di dalam rumah. Beliau bersabda, “Wahai Abu Huroiroh!” Aku menjawab, ‘Labbaik, wahai Rasulullah.’ Beliau SAW bersabda, “Ambillah susu ini dan berikanlah kepada mereka.”
Lalu aku mengambil kendi itu, lalu aku memberikannya kepada salah satu dari mereka, lalu mereka minum sampai puas. Setelah itu dia mengembalikan kepadaku (begitu seterusnya) sampai berakhir pada Rasulullah SAW, sementara semua ahlus shuffah sudah kenyang. Beliau SAW mengambil kendi itu sambil tersenyum dan bersabda, “Wahai Abu Huroiroh!” Aku menjawab, ‘Labbaik, wahai Rasulullah.’ Beliau SAW bersabda, “Tinggal aku dan engkau.” Aku mengatakan, ‘Benar wahai Rasulullah.’ Beliau SAW bersabda, “Duduklah dan minumlah.” Lalu aku minum. Beliau SAW bersabda, “Minumlah!” Lalu aku minum sementara beliau terus saja mengatakan, ‘Minumlah!’ sampai aku mengatakan, ‘Tidak Demi dzat yang mengutusmu dengan haq, aku sudah tidak mendapatkan tempat lagi untuknya.’ Beliau bersabda, “Berikan kepadaku!’ lalu aku memberikan kendi itu kepada beliau, lalu beliau memuji kepada Allah, kemudian membaca bismillah dan meminum sisa susunya.”
Rasulullah SAW sering menerima pemberian, beliau sering menerima undangan, tetapi selalu memberikan bagiannya kepada yang lain atau mengajak yang lain, yang lebih membutuhkan sebelum dirinya sendiri. Dengan demikian yang sodakoh bangga, bisa ta’dhim dan berbagi, sedangkan penerimanya bahagia menjalankan amanat kepemimpinan. Menjadi orang terakhir yang menerima gilirannya.
Situasi seperti ini sudah jarang dijumpai. Secara alami Ibu saya mempraktikkan gaya kepemimpinan sejati ini dengan bersahaja berbalut ta’dhim. Banyak kepemimpinan sekarang kelihatan agung, wah – menggiurkan, tetapi tanpa makna. Palsu belaka. Berisikan kepura – puraan semata. Banyak orang yang mengaku pemimpin karena ingin memanjakan dirinya, tetapi tidak mampu memimpin. Boro – boro menjadi orang terakhir, menjadi yang pertama saja malah memberi contoh yang tidak baik. Kalau berada di kerumunan masa, di tengah khalayak, menjadi biang kerok – provokator, dan menghindar diri menjadi orang yang terakhir, karena terlihat payah. Banyak pemimpin yang mau enak duluan dan susah belakangan. Maunya dilayani terus, lupa untuk melayani. Kalau perlu jangan sampai susah.
Kepemimpinan modern dengan sejuta gayanya ini, mengesampingkan nilai luhur sebuah asas kepemimpinan sejati, yaitu menjadi orang pertama yang menderita dan menjadi orang terakhir yang berbahagia. Ketika hal ini belum dimiliki oleh seorang pemimpin, jangan harap wulang reh kepemimpinan Ki Hajar Dewantoro yang begitu mempesona jaman P4 dulu menjadi nyata. Ing ngarso sung tulada, Ing madya mangun karsa dan Tut wuri handayani, tinggal barisan kata – kata. Apalagi mencontoh gaya kepemimpinan Nabi SAW seperti cerita di atas, yang kata sebagian orang sudah usang. Mau dibawa kemana arah kepemimpinan ini?
Oleh:Ustadz.Faizunal.Abdillah