“Sekarang dia jadi tukang ojek Mas,” kata adik saya.
“Ah, masak perempuan ngojek,” sergah saya.
“Habis dapatnya motor sih, jadi ya digunakan ngojek untuk cari maisyah,” jelas adik saya.
“Lho, memang suaminya kemana?” kata saya.
“Kan sudah cerai.”
Saya istrija, kemudian berkata, “Emang kenapa?”
“KDRT.”
Ya KDRT, Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Kaget juga saya awalnya. Namun saya segera sadar, bahwa hal itu memang bisa saja terjadi, tetapi lebih kepada pengendalian emosi. Penguasaan diri ketika mempunyai problem atau sedang marah, terus bertengkar. Kata orang kecerdasan emosionalnya kurang. Batin pun melayang mengingat kata – kata Ibu tempo dulu. Kala saya masih ingusan, Ibu selalu pesan agar jadi orang itu ojo cengkiling, ojo moro tangan, sing sabar. (Jangan suka marah, ringan tangan) Demi melerai anaknya yang bertengkar rebutan jajan.
Maka saya pun terus bersyukur – alhamdulillah, bahwa saya telah memahami dan mempraktikkan dengan baik apa yang diperintahkan Nabi SAW dalam kehidupan berumah tangga ini.
Dari Muawiyah bin Haidah, ia menuturkan, saya pernah berkata, ‘Ya Rasulullah apa hak istri terhadap suaminya?’ Beliau SAW menjawab, “Engkau memberinya makan ketika engkau makan, engkau memberinya pakaian ketika engkau berpakaian, jangan kamu memukul wajahnya, jangan pula menjelek – jelekannya, dan jangan kamu mendiamkannya (hajr) kecuali tetap di rumah.” (Rowahu Abu Dawud dan Ibnu Hibban)
Islam tidak melarang orang bertengkar, tetapi bertengkarlah dengan baik. Jangan gelap mata. Tinggi – tinggian suara. Menyebut kakek – buyut dan isi kebun binatang. Pokoknya kalau bertengkar harus menang. Perempuan tidak boleh nglunjak. Itu prinsip – prinsip yang harus ditinggalkan. Bergaulah dengan baik. Segala sesuatu bisa dibicarakan terlebih dahulu.
Salah itu bisa menimpa siapa saja. Yang penting ketika sadar telah melakukan kesalahan segera bertaubat, minta maaf. Bagi yang merasa dirugikan juga jangan terus jual mahal, tidak mau memaafkan terus menjelek – jelekkan dan memukul seenaknya. Kafaroh, katanya. Kalau hati sudah sakit susah sembuhnya. Itu dulu sebelum disiram rahmatnya Allah. Ketika kalimatul hikmah sudah meresap ke dalam hati, hal – hal itu adalah masalah kecil. Slilit, yang tak perlu dirisaukan.
Sumber masalah selalu ada. Bisa dari omongan, makanya hemat bicara kecuali pada hal – hal yang baik. Bisa dari tingkah laku, maka bertingkahlah yang sopan. Kalau sudah berusaha sesuai kemampuan kok masih menyakiti orang, ya minta permakluman. Bisa juga dari cara berpakaian. Bisa dari masakan dan lain sebagainya. Bahkan yang sepele pun bisa jadi sebab, kalau mau mencari gara – gara. Yang perlu diingat adalah jangan melupakan kebaikan orang lain. Walaupun jelek, pasti ada hal lain yang baik.
Dari Abu Huroiroh ra., ia menuturkan, Rasulullah SAW bersabda; “Janganlah seorang lelaki mukmin membenci seorang mukminah (istrinya), bila ia membenci suatu perangai padanya, niscaya ia menyukai perangainya yang lain.” (HR. Muslim)
Imam An Nawawi menjelaskan hadits ini dengan menyebutkan contoh nyata, beliau berkata, “Tidaklah layak bagi seorang mukmin (suami yang beriman) untuk membenci seorang mukminah (istrinya yang beriman), bila ia mendapatkan padanya suatu perangai yang ia benci, niscaya ia mendapatkan padanya perangai lainnya yang ia sukai, misalnya bila istrinya tesebut berakhlak pemarah, akan tetapi mungkin saja ia adalah wanita yang taat beragama, atau cantik, atau pandai menjaga kehormatan dirinya, atau sayang kepadanya atau yang serupa dengan itu.” (Syarah Muslim Oleh Imam An Nawawi 10/58).
Dengan mengingat dalil – dalil di atas saya berharap setiap suami bisa menghayati dan menumbuhkan kasih sayang untuk menutup rapat lubang kecil kebencian kepada istri. Sebab dari kebencian inilah muncul hal yang lebih besar lagi yang biasanya berakhir dengan kekerasan dalam rumah tangga. Ingatlah, istri bukan sansak di waktu siang dan selimut di waktu malam.
Oleh:Ustadz.Faizunal Abdillah