Oleh: Faidzunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan.
Seandainya, ada sebuah survei yang kemudian iseng bertanya; “Doa iftitah mana yang sering Anda baca?” saya berasumsi pasti beragam jawabnya. Bahkan ada yang menolak menjawab. Karena alasan privasi dan demokrasi. Masak masalah ibadah dipertanyakan? Pamali. Urusan pribadi. Inipun layak dihormati. Yang bersedia menjawab pun, dengan sopan, dapat dikelompokkan ke dalam dua group besar. Kebanyakan menjawab dengan doa iftitah yang mudah dan pendek. Semua maklum, itu pilihan khalayak. Praktis. Bisa dimengerti. Akan sedikit responden yang memilih membaca iftitah yang panjang. Tentu susah saat menghafal dan dalam praktiknya sholat jadi lebih lama. Yang pendek saja ada dan mencukupi, kenapa juga mencari yang susah dan panjang. Agama itu mudah. Jangan dibuat susah atau menyusahkan diri. Jadilah insan yang cerdas. Apalagi ini cuma survei.
Untuk itu, izinkan kali ini saya berbagi sedikit pengalaman yang berkesan terkait pertanyaan ini. Doa iftitah mana saja yang dibaca bukan soal. Sebabnya tetap sah, sholatnya. Tak ada aturan yang mengikat secara khusus. Dalam hal ini, bagi yang suka detail memang akan mendapatkan beberapa penjelasan, keterangan dan pemahaman tambahan. Sebentuk pemuas dahaga ilmu. Tetapi itu hanya pengayaan saja sifatnya. Misalnya, doa iftitah ini dibaca waktu sholat wajib, yang ini dibaca ketika sholat sunnah dan yang itu dibaca waktu sholat lail. Namun ijma’nya, baca doa iftitah mana saja tetap ok dan sah adanya. Nah, yang mau saya bagi di sini adalah penjiwaan dan penghayatan yang mendalam, tatkala membaca pilihan iftitahnya. Tidak hanya mendapatkan kekhusyukan, lewat penghayatan ini timbul semangat melakukannya lagi dan lagi. Hasilnya semakin getol dan ngimel (rajin), merindukan untuk bisa membaca dan mengulanginya. Ada dorongan yang terus meraja dan peluang indah terbukanya pintu-pintu ilmu lain untuk didapatkan.
Asumsi saya, hasil survei terbanyak pertama adalah doa iftitah ini. Cukup pendek, mudah dihafal dan punya keistimewaan tersendiri; terbukanya pintu langit.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ بَيْنَمَا نَحْنُ نُصَلِّي مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِذْ قَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا وَسُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً وَأَصِيلاً . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ” مَنِ الْقَائِلُ كَلِمَةَ كَذَا وَكَذَا ” . قَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ أَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ . قَالَ ” عَجِبْتُ لَهَا فُتِحَتْ لَهَا أَبْوَابُ السَّمَاءِ ” . قَالَ ابْنُ عُمَرَ فَمَا تَرَكْتُهُنَّ مُنْذُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ ذَلِكَ
Dari Ibnu Umar, ia berkata: Ketika kami sedang shalat bersama Rasulullah SAW, tiba-tiba salah seorang dari kaum mengucapkan, “Allahu Akbar kabīrā, walhamdulillāhi katsīrā, wa subhānallāhi bukratan wa ashīlā (Allah Maha Besar dengan sebesar-besarnya, segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, Maha Suci Allah pada waktu pagi dan petang). ” Rasulullah SAW kemudian bertanya, “Siapa yang mengucapkan kalimat tersebut?” Seorang pria dari kaum menjawab, “Saya, ya Rasulullah.” Rasulullah SAW lalu berkata, “Aku kagum dengan ucapan tersebut. Pintu-pintu langit terbuka karenanya.” Ibnu Umar berkata, “Sejak aku mendengar Rasulullah SAW mengatakan hal itu, aku tidak pernah meninggalkannya.” (HR Muslim).
Yang kedua, yang sedang-sedang saja. Ini enak dibaca dan penuh pengampunan. Langsung diajarkan dari Rasulullah SAW secara riwayat.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا افْتَتَحَ الصَّلاَةَ سَكَتَ هُنَيْهَةً فَقُلْتُ بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا تَقُولُ فِي سُكُوتِكَ بَيْنَ التَّكْبِيرِ وَالْقِرَاءَةِ قَالَ “ أَقُولُ اللَّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِي وَبَيْنَ خَطَايَاىَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ اللَّهُمَّ نَقِّنِي مِنْ خَطَايَاىَ كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ اللَّهُمَّ اغْسِلْنِي مِنْ خَطَايَاىَ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ
Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah SAW, ketika memulai shalat, beliau terdiam sejenak (setelah takbiratul ihram). Maka aku bertanya, “Demi ayah dan ibuku sebagai tebusanmu, wahai Rasulullah, apa yang engkau ucapkan dalam diammu antara takbir dan bacaan (Al-Fatihah)?” Beliau menjawab, “Aku mengucapkan, Allāhumma bā‘id bainī wa baina khaṭāyāya kamā bā‘adta baina al-masyriqi wa al-maghrib. Allāhumma naqqinī min khaṭāyāya kamā yunaqqā al-thawb al-abyad min al-danas. Allāhumma aghsilnī min khaṭāyāya bi al-mā’i wa al-thalji wa al-barad (Ya Allah, jauhkanlah antara aku dan kesalahan-kesalahanku sebagaimana Engkau menjauhkan antara timur dan barat. Ya Allah, bersihkanlah aku dari kesalahan-kesalahanku sebagaimana dibersihkannya kain putih dari kotoran. Ya Allah, cucilah kesalahan-kesalahanku dengan air, salju, dan embun). ” (HR Muslim)
Macam selanjutnya, yang ketiga, adalah yang panjang dan mengasyikkan. Juga diajarkan langsung dari Rasulullah, plus kekhususan karena konteksnya dibaca saat bangun malam. Lumayan menantang untuk menghafalnya.
عَنِ ابْنِ، عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَقُولُ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ “ اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ نُورُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ قَيَّامُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ رَبُّ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ وَمَنْ فِيهِنَّ أَنْتَ الْحَقُّ وَوَعْدُكَ الْحَقُّ وَقَوْلُكَ الْحَقُّ وَلِقَاؤُكَ حَقٌّ وَالْجَنَّةُ حَقٌّ وَالنَّارُ حَقٌّ وَالسَّاعَةُ حَقٌّ اللَّهُمَّ لَكَ أَسْلَمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْكَ أَنَبْتُ وَبِكَ خَاصَمْتُ وَإِلَيْكَ حَاكَمْتُ فَاغْفِرْ لِي مَا قَدَّمْتُ وَأَخَّرْتُ وَأَسْرَرْتُ وَأَعْلَنْتُ أَنْتَ إِلَهِي لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ
Dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah SAW apabila bangun untuk shalat di tengah malam, beliau mengucapkan: “Allahumma laka al-hamdu anta nur al-samawati wa al-ard wa laka al-hamdu anta qayyim al-samawati wa al-ard wa laka al-hamdu anta rabb al-samawati wa al-ard wa man fihinna. Anta al-haqq wa wa‘duka al-haqq wa qawluka al-haqq wa liqa’uka haqq wa al-jannatu haqq wa al-naru haqq wa al-sa‘atu haqq. Allahumma laka aslamtu wa bika amantu wa ‘alayka tawakkaltu wa ilayka anabtu wa bika khasamtu wa ilayka hakamtu. Faghfir li ma qaddamtu wa akhkhartu wa asrartu wa a‘lantu. Anta ilahi la ilaha illa anta.” ( Ya Allah, segala puji bagi-Mu. Engkau adalah cahaya langit dan bumi. Segala puji bagi-Mu. Engkaulah yang mengatur langit dan bumi. Segala puji bagi-Mu. Engkau adalah Tuhan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya. Engkau adalah kebenaran, janji-Mu adalah kebenaran, firman-Mu adalah kebenaran, pertemuan dengan-Mu adalah kebenaran, surga adalah kebenaran, neraka adalah kebenaran, dan kiamat adalah kebenaran. Ya Allah, kepada-Mu aku berserah diri, kepada-Mu aku beriman, kepada-Mu aku bertawakkal, kepada-Mu aku kembali, karena-Mu aku berjuang, dan kepada-Mu aku berhukum. Maka ampunilah dosa-dosaku yang telah lalu dan yang akan datang, yang aku lakukan secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Engkaulah Tuhanku, tiada ilah selain Engkau.”) (HR Muslim)
Mungkin ada macam iftitah lain yang menjadi kebiasan ataupun andalan, namun karena keterbatasan, baik waktu, tempat dan penulisannya, maka tidak ditampilkan di sini. Bisa langsung ke sumber aslinya. Karena memang iftitah itu banyak versinya, banyak juga penggemarnya dan bebas pula untuk memilihnya. Semoga yang tiga di atas bisa mewakili.
Menerka-nerka maksud baik dari pertanyaan iseng di atas, adalah pemicu untuk berpacu dalam melodi kebaikan. Bukan mencari-cari kesalahan, kekeliruan dan kekurangan. Harapannya, bagi yang punya problem dalam meningkatkan ibadah sholat sunnahnya, cobalah kiat sederhana lewat jalur ini. Insya Allah, doa iftitah menjadi pembuka dan tuntunan untuk menyibak jalan keindahan dalam menemukan gairah sholat dan kebugaran dalam praktik ibadah secara keseluruhan. Sholat adalah tiang agama. Sholat adalah istirahat sempurna. Karena ada nuansa indah disebaliknya dengan sejuta kesegaran nikmat, ketika telah sampai pada maqam ketetapan dan berkesinambungan. Rasa rindu itu datang begitu saja, tiba – tiba menggoda, bergulir tatkala sepertiga malam hadir menyapa. Mudah – mudahan dengan semangat berbagi, saling mengingatkan karena Allah, Allah memberi kemanfaatan dan kebarokahan, dibukakan jalan seperti pesan-pesan indah para Guru terdahulu;
مَنْ عَمِلَ بِمَا عَلِمَ، فَتَحَ اللَّهُ لَهُ مَا لَمْ يَعْلَمْ
“Barangsiapa mengamalkan ilmu yang telah ia pelajari, maka Allah akan membuka untuknya hal yang sebelumnya ia tidak tahu.” (Abdul Wahid bin Zaid, Hilyatul Auliya’ 6: 163).
Sejalan dengan ini, dalam riwayat-riwayat shahih baik dari Imam Al-Bukhari maupun Imam Muslim serta para imam hadits lain, bisa dijumpai riwayat hadits dengan semangat serupa sebagai tolok ukurnya, yaitu;
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ـ صلى الله عليه وسلم مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
Dari Abu Hurairah, dia berkata, Rasulullah SAW bersabda; “Barangsiapa yang Allah inginkan kebaikan padanya, Allah akan faqihkan ia dalam masalah agama (ini).”
Kebaikan itu, salah satunya dibukakan pintu-pintu ilmu yang belum diketahui, kemudian diberi kekuatan untuk bisa mengamalkannya. Seiring berjalannya waktu, mudah-mudahan timbul pengertian mendalam kenapa begitu banyak contoh dari Rasulullah SAW akan bacaan iftitah ini. Juga untuk syariat-syariat lainnya. Tak lain adalah tawaran sejuta jalan meraih meriahnya beramal-ibadah. Membuang kesulitan, memupuk kemudahan, menjembatani berbagai keperluan dan kebutuhan, menyingkirkan kebosanan sampai menumbuhkan kecintaan. Bagi yang terpanggil untuk mencoba dipersilakan. Bagi yang telah menemukan jalannya mohon diteruskan. Amalkanlah sebanyak-banyaknya sesuai kemampuan dan kekuatan. Jangan terjebak; maju tidak, mundur beranjak. Ayo terus melaju. Agama ini mudah, agama ini indah. Apalagi bagi mereka yang sudah bisa merangkai bermacam ajaran menuju puncak ibadah dengan warna-warni pelangi keindahan. Hemmm, anugerah yang luar biasa. Lebih baik dari apa-apa yang mereka kumpulkan.
Nah, mengakhiri tulisan ini, mohon maaf sebesar-besarnya, jika para pembaca budiman terlanjur melahap tulisan ini sampai tuntas. Sesuai judulnya, ini hanya pengandaian semata: Seandainya. Kenyataannya, tidak ada yang bertanya hal semacam ini dalam kehidupan nyata, kecuali tulisan usil dan dungu ini saja. Oleh karena itu, sekali lagi; maafkanlah plentis ini.