Inilah ulangan episode kehidupan saya. Minggu yang lalu anak lelaki saya, mbanyaki – sibuk minta diajari nyanyi. Pakai pianika susah, nggak mudeng – mudeng. Nggak kuat napas lagi. Diajak nyanyi bareng nggak nyaut – nyaut. Padahal itu lagu sudah sering dinyanyikan setiap upacara bendera hari senin di sekolahnya. Lagunya adalah Mengheningkan Cipta. Harusnya nggak diajari saja bisa, wong sudah dua tahun dengerin lagu itu. Tapi memang tidak punya jiwa seni, ya susah. Mau apalagi. Harus sabar dan telaten. Dulu kira – kira bapaknya juga begitu.
Dari kecil memang terlihat kalau tidak suka dengan nyanyian. Waktu TK saja, perasaan nggak ada yang hapal satu pun lagu – lagunya.. Dan ketika SD belajar pianika saja setengah mati ngajarinya. Sudah tangannya mbuthel – pendek karena gemuk, rasa seninya kurang banget. Kayak nglatih tentara bermusik. Biar wagu asal bunyi. Nah, kini harus berjuang ekstra bisa nyanyi dalam semalam. Dan yang menjengkelkan itu, misal dia belum bisa maka ancamannya terus besok mending nggak sekolah. Bolos. Ha, ha, ha,,,, keluar juga akal bulusnya.
Herannya, ketika di mobil ada lagu baru dia connect juga. Waktu itu Mamanya bikin copian lagu Lilin – lilin Kecilnya Crisye, eh ternyata dia suka.
“Lagu siapa itu Ma, kok aneh gitu?” katanya.
“Aneh…? Itu lagu jadul. Lagu tahun 70-an, kala Mama masih bocah. Wow dulu top banget itu Le. Kayak Ariel Peter Pan gitu. Yang nyanyi Crisye namanya. Sekarang orangnya sudah meninggal,” penjelasan Mamanya.
“Hi serem…! Tapi asyik juga kok,” katanya menimpali, “repeat Ma, repeat.”
Saya perhatikan dia mengekor refference lagu itu.
……….. engkau lilin – lilin kecil sanggupkah kau mengganti…….
Nah, dari situ saya baru tahu, sebenarnya dia bisa nyanyi. Suaranya lumayan. Bahkan kakaknya pernah laporan kalau sebenarnya suara adiknya itu bagus, hanya dia pemalu. Ngomong – ngomong pemalu ini, saya jadi teringat anak tetangga depan rumah. Lelaki. Besar badannya. Kalau main dan kegiatan sehari – hari suaranya lantang bukan kepalang. Keras dan tegas. Tapi giliran ngaji, suaranya kecil, bahkan nyaris tak terdengar. Bahkan oleh yang ngajar sekalipun. Bersyukur anak saya tidak separah itu.
Berkaca dari langkah – langkah kecil, kegiatan kecil anak saya, semakin menambah meriah hidup ini. Apalagi kalau bukan kesyukuran yang dalam. Mengetahui perkembangannya dan menemani pertumbuhannya menjadikan diri ini kecil di mata Kebesaran Allah SWT. Dan teringat jasa besar Bapak dan Ibu saya tempo dulu. Mesti lebih dari itu, karena telah bisa mendidik dan membesarkan kami seperti ini. Padahal hidup jauh di pucuk gunung. Yang baru terjamah listrik akhir abad 20. Ini di jawa lho, bukannya di luar jawa.
Terlepas dari apapun, umur sudah kepala 3 mau 4 dan status sudah menjadi bapak dengan 5 tanggungan, sehingga harus ekstra hati – hati dalam bertindak, bersikap dan bertutur kata. Sebab salah – salah bukan kebarokahan yang didapat melainkan tambah beban. Yang terpenting lagi menyikapi buah hati ini, sebagai amanat yang diberikan Allah kepada kami.
Dari Abdullah bin Amr bin al-Ash ra., ia menuturkan, Rasulullah SAW bersabda, “Cukuplah bagi seseorang itu berdosa apabila dia menelantarkan orang yang menjadi tanggungannya.” (Rowahu Abu Dawud, an-Nasai dan al-Hakim)
Hadits pendek ini, rasanya cukup sebagai pelecut dan perkeling kami mengalahkan letih – lesu dalam menghadapi anak – anak kami. Asal mereka mampu, tetap kami melayani sampai mereka berserah diri. Ngantuk dan tidur pules. Demikian juga dengan acara nyanyi malam itu, belum sampai bisa dan belum sampai hafal, si bocah sudah teler ketiduran. Bocah yang lucu. Lugu dan polos. Tanpa beban. Tapi kalau dah bangun, kadang menjengkelkan.
Oleh:Ustadz.Faizunal Abdillah