Jakarta (2/7). Ledakan emosi atau tantrum kerap menjadi tantangan tersendiri bagi orang tua, terutama yang memiliki anak usia prasekolah. Fenomena ini umum terjadi pada anak usia 2 hingga 4 tahun, ditandai dengan perilaku agresif seperti menangis kencang, berteriak, hingga memukul atau melempar barang.
“Tantrum itu bagian dari proses tumbuh kembang anak, bukan sesuatu yang harus langsung dianggap sebagai masalah besar,” ujar Pengurus DPP LDII Departemen Pendidikan Umum dan Pelatihan (PUP), Nana Maznah di Channel Youtube resmi Sahabat Keluarga pada Rabu, 24 Juli 2019.
Menurut Nana, perilaku tantrum biasanya muncul karena keinginan anak yang tidak dipenuhi. Anak yang belum mampu mengungkapkan perasaan atau keinginannya secara jelas, sering kali melampiaskannya lewat tangisan atau kemarahan. “Bahasa anak-anak itu masih terbatas, jadi mereka bereaksi dengan cara yang paling sederhana: menangis atau marah,” ujarnya.
Selain faktor komunikasi, keinginan anak untuk mencoba hal-hal baru, seperti makan atau minum sendiri, juga kerap memicu tantrum. Terlebih bila keinginan itu terhalang atau tidak diizinkan. Pola asuh orang tua yang terbiasa selalu menuruti semua permintaan anak juga bisa membuat mereka tidak siap menghadapi penolakan.
“Kadang tantrum muncul dari hal-hal sederhana, seperti anak lapar, lelah, bosan, atau bahkan merasa tidak aman di lingkungan sekitar,” ujar Nana.
Menghadapi situasi ini, orang tua diminta untuk tidak mudah terpancing emosi. Tetap tenang menjadi kunci utama saat anak mulai menunjukkan tanda-tanda tantrum, seperti suara yang meninggi atau rengekan. “Kalau sudah muncul tanda-tanda itu, ajak anak bicara, negosiasi. Jangan tunggu sampai mereka meledak dulu,” katanya.
Memberikan ruang aman bagi anak untuk mengekspresikan emosi juga penting. Salah satunya dengan mengajak anak duduk, membantu mereka mengenal perasaan sendiri, dan mengajarkan cara mengelola emosi. Orang tua juga diingatkan untuk tidak menggunakan cara menghakimi, melainkan berdialog dengan tenang namun tegas.
“Orang tua harus pegang kendali emosi. Kalau kita ikut marah, situasi makin tidak terkendali,” ujarnya.
Satu hal yang tak kalah penting, orang tua diingatkan untuk tidak menyogok anak agar segera berhenti tantrum. Cara seperti itu justru memberi sinyal ke anak bahwa tantrum adalah senjata ampuh untuk mendapatkan sesuatu. Sebaliknya, terapkan konsekuensi yang sudah disepakati bersama.
“Awasi juga supaya tantrum mereka tidak membahayakan diri sendiri atau orang lain. Tantrum bukanlah kondisi berbahaya. Seiring bertambahnya usia dan kemampuan anak dalam berkomunikasi, perilaku ini akan berkurang dengan sendirinya. Ini cuma fase. Yang penting, orang tua jadi contoh dalam mengelola emosi,” ujarnya.
Nana menegaskan, menghadapi tantrum adalah ujian kesabaran orang tua, “Dengan pendekatan penuh cinta dan pengertian, anak akan belajar mengelola emosinya dengan cara yang lebih sehat,” pungkasnya.