Jakarta (28/8). Senior Advisor Paramadina Public Policy Institute, Abdul Malik Gismar mengingatkan, pendidikan menjadi tantangan membangun kualitas SDM nasional. Hal itu ia sampaikan saat menjadi pembicara “Seminar Kebangsaan” bertema “Revitalisasi Demokrasi Indonesia Pasca Pemilu 2024”.
Acara itu, dihelat secara hybrid, dengan studio utama di Gedung DPP LDII, Senayan, Jakarta, diikuti 230-an titik studio mini se-Indonesia dengan 1.500 peserta pada Rabu (23/8).
Terkait kondisi pendidikan terkini, ia menyoroti Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia yang masuk dalam kelompok bawah. “Angkanya 72,91. IPM terdiri dari Kesehatan, ekonomi, dan pendidikan. Pendidikan, ukurannya adalah rata-rata lama sekolah, dan harapan lama sekolah,” ujarnya.
Bahkan, cukup miris, ia mengatakan, Angka Partisipasi Murni Indonesia, usia SMA hanya berkisar 60%. “Merupakan jumlah siswa pada tingkat usia tertentu, yang mengikuti pendidikan pada usia tertentu,” jelasnya.
Melihat lebih dalam lagi, rata-rata lama sekolah orang Indonesia, pada tahun 2021, adalah 8,6 tahun, dengan kenaikan yang relatif landai. “Padahal, pondasi Indonesia Emas 2045 adalah pembangunan manusia sejak dini,” imbuhnya.
Persoalan lainnya, Indonesia mengalami persoalan pendidikan usia 0-6 tahun. “Seperti bayi lahir dengan berat badan rendah, malnutrisi, kurangnya ketersediaan fasilitas PAUD, dan rendahnya partisipasi dalam program PAUD, yang disumbang oleh akses yang terbatas, khususnya di wilayah pedesaan dan Indonesia Timur,” jelas Gismar.
Selanjunya, ia mengungkapkan, terdapat persoalan, sekitar 5,65% anak usia 16-18 tahun, masih duduk di bangku SD dan sebanyak 13,87% masih di SMP. Sekitar 31,32% dari total penduduk usia 16-18 tahun, tidak bersekolah SMA. “Sekitar 22,52% (3,02 juta) anak usia 16-18 tahun, tidak bersekolah lagi. Bahkan, 19 dari 1000 anak usia 16-18 tahun tidak aktif,” pungkasnya.
Tak pelak, berbagai persoalan tersebut, membuat performa Indonesia dalam standar PISA, selalu masuk peringkat 10 besar terbawah. PISA merupakan Programme for International Student Assessment, merupakan suatu studi untuk mengevaluasi sistem pendidikan yang diikuti oleh lebih dari 70 negara, di seluruh dunia.
Cukup miris pula, ia mengungkapkan persoalan lainnya, skor Uji Kompetensi Guru Indonesia, berkisar 52-60 pada tahun 2015, dan 52-59 pada tahun 2021. “Guru berkualifikasi, tetapi tidak berkompeten. Kalau kami lihat, hasil demokrasi Indonesia, tidak banyak suara yang mempersoalkan berbagai hal tersebut. Di ruang-ruang wakil rakyat,” jelasnya.
Ia mengungkapkan, lembaga demokrasi Indonesia mengalami pengelompokkan. “Urusan prosedural relatif bagus, tetapi yang disoroti adalah bagaimana kinerja partai politik dan lembaga demokrasi,” pungkasnya.
Gismar mencermati, Indeks Demokrasi Indonesia, terkait SDM, budget untuk pendidikan mencapai Rp 74 triliun. “Namun, kalau dicermati lagi, ternyata Biaya Operasional Sekolah (BOS) masuk dalam budget provinsi. Mestinya tidak boleh, karena BOS adalah uang dari pusat. Kalau tetap dihitung di provinsi, menjadi dua kali,” jelasnya.
Ternyata, ia berhitung, kalau dana BOS dikeluarkan dari perhitungan anggara tersebut. Alokasi pendidikan dari provinsi itu kecil. “Sumbangan provinsi di daerah, hanya berkisar Rp 1 juta per anak per tahun,” pungkasnya.
Ia menegaskan, yang ingin disampaikan adalah perlunya upaya ekstra, untuk meningkatkan kualitas pendidikan. “Kalau keliling di Indonesia, inisiatif dari DPRD itu langka. Kalau melihat angka-angka seperti tadi, tidak ada reaksi apa-apa,” jelasnya.
Hal itu, membuat Gismar bertanya, persoalan-persoalan tersebut apakah anggota DPRD tidak melihat berbagai persoalan yang terjadi tersebut. “Ini adalah persoalan di depan mereka. Buat saya, bahwa mereka tidak bergerak, adalah krisis representasi. Demokrasi Indonesia mengalami krisis representasi,” jelasnya.
Yang sedang terjadi, menurutnya, suara yang diberikan rakyat, tidak menjadi suara di ruang parlemen. “Akibatnya masalah paling krusial, seperti pendidikan tidak terbicarakan. Diperlukan aktivisme tertentu, untuk menangani persoalan tersebut. Persoalan tidak selesai, kalau sistem demokrasi tidak berubah,” pungkasnya.
Untuk itu, ia menegaskan, demokrasi harus dipahami sebagai suatu sistem yang mengatur kehidupan sehari-hari masyarakat. Selain itu, ia menggarisbawahi, pentingnya pendidikan anak usia dini, sebagai pondasi pendidikan yang vital.
Semoga lebih banyak yang terbantu
Dan berjalanya roda berputar
Senantiasa ada dalam lindungan Alloh SWT menjadikan generasi alim Faqih berakhlaqul Karimah dan mandiri
Marilah kita, membangun Indonesia dg memilih wakil wakil yg mengerti dan memperjuangkan pendidikan