Jakarta (30/9). Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro (Undip), Singgih Tri Sulistiyono mengharapkan adanya rujuk sosial di balik kesimpangsiuran peristiwa G30S PKI yang terjadi pada tahun 1965. Menurut Singgih yang juga Ketua DPP LDII, saat ini penulisan ulang sejarah tragedi 1965 sangat penting, untuk menjadi wahana rujuk sosial.
Ia berpendapat penulisan ulang tersebut, agar manajemen dendam (resentment management) yang diaplikasikan oleh Orde Baru (Orba) selama kurang lebih 30 tahun dalam benak masyarakat dapat diputus.
Sejak awal tragedi nasional yang bersumber dari peristiwa 30 September 1965, sudah diliputi misteri yang sulit dipecahkan hingga saat ini, “Kesimpangsiuran peristiwa ini justru telah menimbulkan berbagai pendapat, interpretasi, bahkan spekulasi mengenai kejadian sebenarnya yang ada di balik peristiwa itu,” kata Singgih, pada Jumat (29/9).
Menurut Singgih kesimpangsiuran masih kerap ditemukan terutama ketika orang berbicara soal dalang di balik peristiwa itu, dan bagaimana serta mengapa itu terjadi. Secara garis besar paling tidak ada lima versi mengenai siapa dalang di balik G 30 S, yaitu: 1) PKI, 2) Sebuah klik di tubuh Angkatan Darat, 3) CIA/Pemerintah AS, 4) Presiden Soekarno, 5) Tidak ada pelaku tunggal.
Prof. Singgih mengatakan tragedi 1965 merupakan lembaran paling kelam dalam sejarah bangsa Indonesia, dan merupakan tragedi yang paling sulit dilupakan hingga kini. Tidak kurang dari 500.000 orang telah dibunuh dan ratusan ribu lainnya telah dijebloskan ke dalam penjara. Mayoritas yang menjadi korban adalah pimpinan, anggota atau sekedar simpatisan PKI yang dituduh menjadi dalang dalam sebuah peristiwa kup di bulan Oktober 1965.
Menurutnya, peristiwa itu juga memiliki dampak jangka panjang yang luar biasa yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Bertahun-tahun bahkan berpuluh tahun setelah peristiwa itu, orang-orang yang dianggap terkait dengan peristiwa itu masih terus mendapatkan berbagai ketidakadilan. Kecuali orang-orang yang telah dikirim ke alam baka, mereka yang dianggap masuk kategori ‘berbahaya’, dikucilkan dari segala macam kegiatan dalam masyarakat.
“Mereka tidak boleh bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil, ABRI, tidak boleh aktif dalam kegiatan politik, dan tidak boleh menjadi kepala desa. Bahkan selama era Soeharto, mereka juga diharamkan untuk menjadi pengurus Rukun Tetangga (RT) ataupun Rukun Warga (RW),” kata Singgih.
“Anak-anak korban politik Orde Baru ini juga banyak mengalami nasib yang serupa dengan yang dialami orang tuanya. Mereka mengalami diskriminasi dan tekanan sosial akibat dosa-dosa orang tuanya, baik yang dilakukan oleh aparatur negara maupun lingkungan sosialnya,” lanjutnya.
Menurutnya, penulisan sejarah tragedi 1965 cenderung mengerucut pada dua kutub yang berseberangan. Antara ‘kubu Orba’ yang telah memvonis PKI sebagai sebagai dalang peristiwa G 30 S dan ‘kubu korban Orba’ yang menganggap versi Orba sebagai suatu kebohongan sejarah (historical falsehood).
Polarisasi dua kutub itu menjadi sangat sulit untuk dijembatani, karena masing-masing menuduh dan memberi stigma negatif kepada yang lain. Dengan demikian rujuk sosial (social reconciliation) masih tergantung sebagai sebuah harapan, “Masing-masing belum bisa membebaskan diri dari kungkungan historis (historical shacles) yang selalu diwarnai tradisi balas dendam,” ungkapnya.
Singgih mengatakan ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam penulisan sejarah tragedi 196, yang sekiranya bisa menjadi wahana rujuk sosial. Pertama, bahwa penulisan sejarah mestinya tidak boleh lagi seperti dulu, yaitu monopoli penguasa dan kaum pemenang (the winner), tetapi hendaknya penulisan sejarah harus menjadi arena komunikasi sebuah komunitas.
“Siapapun boleh menulis sejarah asalkan bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Pada akhirnya masyarakat sendiri yang akan menilai kredibilitas sebuah karya sejarah. Sudah barang tentu hal ini juga memerlukan pendidikan masyarakat yang sadar sejarah. Dengan kesadaran sejarah sebuah masyarakat akan terbebas dari tirani masa lampau,” ujarnya.
Kedua, perlu dipahami bahwa peristiwa sejarah tidak lahir dari kekosongan sosial (social vacuum), tetapi memiliki basis sosial, budaya dan politik serta saling jalin menjalin. Artinya bahwa apa yang kemudian meletus sebagai G 30 S itu adalah ‘buah budi bersama’ segenap kekuatan sosial politik dan militer pada waktu itu.
Ketiga, perlu adanya kajian dan penelitian mengenai tragedi nasional di tingkat lokal. Dengan demikian tragedi ini tidak semata-mata dipahami dari sisi Jakarta, tetapi juga dari sisi komunitas yang jauh dari pusat kekuasaan. Hal ini juga perlu disadari bahwa justru pelampiasan dendam sosial terjadi di daerah-daerah di luar Jakarta. Sebab jumlah korban di Jakarta mungkin tidak sebanding dengan yang terjadi di pedesaan.
Singgih mengatakan sebuah pendekatan baru dalam penulisan tragedi 1965 ini perlu dipikirkan bersama, untuk mengurangi perasaan dendam itu demi tercapainya rujuk sosial. Masyarakat harus diberi ruang kebebasan untuk menulis sejarah mereka sendiri. Masyarakat yang akan menentukan kredibilitas sebuah karya sejarah.
“Selain itu peristiwa 1965 harus disadari sebagai ‘buah kelakuan’ bersama segenap bangsa yang harus sama-sama diambil hikmahnya untuk introspeksi. Akhirnya jangan hanya belajar sejarah, tetapi juga belajarlah dari sejarah,” ujarnya.
Singgih juga menerangkan bahwa konflik sosial berdarah, bahkan juga perang terbuka di negara-negara dunia ketiga pada waktu itu, merupakan simptom dari Perang Dingin. Hal itu terjadi di banyak negara seperti Vietnam, Kamboja, Korea, dan negara lainnya.
“Itu merupakan dampak dari proxi Perang Dingin antara blok komunis dan kapitalis. Oleh sebab itu sekarang kita harus hati-hati dengan proxi atau ‘Perang Dingin jilid II’. Jangan sampai kita jadi korban proxi lagi,” tutupnya.