Dobo (20/10). Matahari mulai meninggi di cakrawala Kepulauan Aru, Pulau Dobo. Terlihat sekumpulan nelayan dan kapal perintis hilir mudik meramaikan aktivitas pelabuhan Kota Dobo. Meski bukan pelabuhan yang besar, akan tetapi pelabuhan Kota Dobo ramai dikunjungi, terutama bagi pendatang dari pulau Jawa yang sedang mencari peruntungan.
Pukul 10.00 WIT di hari yang sama, KRI Banjarmasin bersama Rombongan Ekspedisi Bhakti PMK dan bantuan sosialnya tiba di pelabuan Kota Dobo. Meski kemarin malamnya sudah bisa merapat ke pelabuhan, KRI Banjarmasin melego jangkar di tengah laut menunggu kedatangan pejabat kemenko PMK, Asisten Deputi Kebencanaan Herbin yang baru terbang dari Jakarta menuju Dobo.
Setelah bersandar di pelabuhan, rombongan langsung disambut oleh arak-arakan warga sekitar dengan parade kabaret. Namun demikian, penyerahan bantuan secara simbolis kepada pemda baru bisa dilakukan pada malam hari. Tanpa menunggu lama, Ekspedisi Bhakti PMK LDII langsung bergerak bersama Fadli salah satu warga LDII Dobo memberikan bantuan. Bersama mobil ambulance milik DPW LDII DKI Jakarta dan Mobil Rescue, Satuan Petugas (Satgas) Bhakti PMK LDII menyusuri jalanan kota Dobo.
Dalam perjalanan, Satgas Bhakti PMK LDII menemui Majelis Taklim Nurhasanah Ursiyaurlima. Fadli memperkenalkan satgas kepada pengurus Dewan Takmir Masjid (DKM) Nurhasanah Ursiyaurlima, Lagani. Ustad Fahmi salah satu Satgas Bhakti PMK LDII menjelaskan maksud kedatangannya.
“Kami ingin silaturahim dengan saudara kami di pulau terujung di Indonesia, bagaimana perkembangan masyarakatnya terutama umat Islam yang kami kunjungi,” ujarnya.
Ustad Fahmi sedikit bercerita mengenai Ekspedisi Bhakti PMK. Ekspedisi ini merupakan bagian dari Ekspedisi NKRI 2017 yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat lewat bantuan sosial. Ada dua jenis bantuan sosial yang diberikan yaitu bantuan fisik dan non fisik seperti workshop dan pelatihan.
Saat di pulau ketiga yang disinggahi KRI Banjarmasin ini, LDII memberikan 67 dus bantuan yang terdiri dari pakaian barokah, mukena, kerudung barokah, baju koko, perlengkapan sekolah, dan serta beasiswa pendidikan di pesantren.
Sedikit menyingkap keadaan masyarakat Pulau Dobo, Lagani bercerita bahwa sebenarnya interaksi sosial masyarakat di daerah nya sangat kuat. Bahkan ketika meletus konflik Ambon 1999 silam, wilayahnya yang pertama meletus konflik namun hanya dalam waktu tiga hari masyarakat kembali berdamai.
“Persoalan tradisi mampu meredam konflik. Ikatan emosional persaudaraan tinggi dengan adanya tradisi Pela Gandong dan Jabu. Apabila ada yang melanggar, sanksinya akan kena kualat, entah itu azab Allah, akhirnya masyarakat mau berdamai,” ujar Ustad Lagani.
Sejak dahulu sebelum masuknya pengaruh agama Islam dan agama Nasrani, setiap masyarakat desa sudah terikat perjanjian leluhur seperti meminum darah dengan tujuan ikatan kuat lebih dari saudara kandung.
“Untuk tradisi Jabu, kalau kami tiba di desa mereka apa saja yang bisa diambil tidak boleh dilarang, begitu pula tetangga yang datang ke kampung. Kini diperingati dengan simbol hantar-hantaran padi. Tradisi ini cukup meriah dengan diadakan setiap 5 tahun sekali,” ceritanya.
Ditanya sedikit soal penyebab konflik, Lagani mengakui bahwa banyak isu-isu tidak benar yang beredar juga kesalahpahaman. Menurut apa yang Ustad Lagani alami, konflik bermula dari remaja masjid Agung yang sedang membangun gapura untuk menyambut Idul Fitri. Salah satu remaja masjid menemui temannya yang non muslim di kelompok pemuda lain yang sedang mabuk, temannya menyuruh pergi karena sedang mabuk, namun sang pemuda menganggapnya penghinaan.
“Ada isu tidak benar dan pada akhirnya emosi tersulut. Isu masjid Agung terbakar, padahal tidak dibakar,” kata Ustad Lagani menambahkan.
Sejak saat itu terjadi saling serang, ketika Polisi Brimob datang, kerusuhan mulai mereda. Konflik pulau Dobo memang lebih cepat teredam dibanding Kota Ambon dan Pulau Tual yang membutuhkan waktu bertahun-tahun agar kembali berdamai.
Berdasarkan cerita Lagani, persaudaraan antar umat beragama ternyata tidak bermasalah. Bahkan menurutnya dalam satu keluarga, anggota keluarganya bisa menganut agama yang berbeda, pun mereka tetap nyaman. “Pulau Dobo salah satu pulau yang menjadi Laburatorium Perdamaian Kepulauan Aru, karena dianggap daerah konflik yang cepat teredam,” ujarnya.
Namun demikian, Lagani kembali bercerita bahwa pemahaman masyarakat Dobo tentang agama Islam masih kurang. Masyarakat Dobo mengenal Islam hanya sebatas permukaan saja.” Untuk syiar islam sangat rendah karena terbatasnya mubaligh, ” ia menambahkan.
Untuk itu, Satgas Bhakti PMK LDII menawarkan 10 beasiswa pesantren bagi generasi muda muslim Dobo untuk menjadi mubaligh di tempat kelahirannya kelak. Ketika ditawarkan demikian, Lagani nampak senang dan bersyukur. Nantinya, calon penerima beasiswa pesantren akan di Bina oleh Fadli sebagai perwakilan warga LDII di Dobo yang kelak akan menjadi PAC LDII Dobo dibawah DPW LDII Ambon.
Di akhir pertemuan, Satgas Bhakti PMK LDII memberikan bingkisan kepada Ustad Lagani sebagai tanda kenangan. Lalu tim pun segera melanjutkan perjalanan menuju tujuan berikutnya.