Pusat Observasi Bulan menjadi lokasi yang kini mulai ramai dikunjungi umat Islam. Terutama jelang penetapan awal Ramadhan. Di lokasi ini lah masyarakat dapat menjadi saksi penetapan awal bulan puasa yang selalu diperdebatkan secara real time.
RIKO NOVIANTORO, Sukabumi
Perdebatan antar ulama dalam sidang Itsbat yang digelar Kementerian Agama, pastinya membuat sebagian umat Islam bingung. Karena perdebatan dalam penetapan awal Ramadhan itu sarat berbagai istilah astronomi dan penggunakan metode ilmu falaq yang tak semua paham.
Namun kebingungan tersebut dapat langsung terjawab. Masyarakat yang mendatangi Pusat Observasi Bulan di Desa Cibeas Kecamatan Simpenan, Sukabumi dipastikan lebih paham terkait prosesi penetapan awal Ramadhan tersebut.
Letak pusat pemantauan awal Ramadhan ini memang cukup jauh dari Jakarta. Butuh 6-7 jam perjalanan menggunakan mobil. Itu pun dengan kondisi jalan yang sepertiga perjalanan kurang nyaman.
Setibanya di pusat observasi lelah dan kesulitan di perjalanan terbayar tuntas. Pengetahuan tentang perhitungan awal puasa yang selalu ramai diperdebatkan menjadi lebih mudah dipahami di lokasi ini.
“Memang pusat obeservasi bulan ini terbuka untuk umum. Di sinilah para astronomi, ulama dan ahli ilmu falaq berkumpul. Melihat langsung hilal atau wujud awal bulan dalam hitungan kalender Qomariah,” jelas Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Sukabumi, Ismatullah Syarief di Pusat Observasi Bulan Cibeas.
Disebutkan dia lokasi pemantaun awal bulan memang tersebar luas dari Sabang sampai Marauke. Paling tidak ada 53 titik pantauan penetapan awal bulan Ramadhan. Semua lokasi tersebut terdapat para astronom, ulama dan ahli ilmu falaq.
Metode pemantauannya menggunakan berbagai cara. Mulai dari perhitungan ilmu falaq tradisional sampai menggunakan alat pemantau yang canggih. Dengan menggunakan komputerisasi yang dapat disaksikan secara langsung.
“Kalau melihat di Pusat Observasi Bulan ini masyarakat tentu lebih paham. Karena fenomena melihat awal Ramadhan itu tergambar jelas,” imbuhnya.
Misalkan saja, terang Ismatullah Syarief sejumlah pakar Hisab dan Rukyah telah menggunakan teknologi teropong yang canggih. Teropong tersebut ditempatkan pada titik lokasi matahari terbenam.
Dengan bantuan computer, tambah dia teropong tersebut mengikuti arah pergerakan matahari yang tenggelam. Secara bersamaan pergerakan matahari tersebut direkam melalui computer.
“Dari monitor computer itulah masyarakat melihat secara jelas pergeseran matahari dan cahaya hilal yang menjadi tanda awal Ramadhan,” jelasnya.
Selain menggunakan teknologi yang sudah modern, sebagian pakar ilmu falaq juga menggunakan metode perhitungan tradisional. Seperti penggunaan tiang yang berisikan bentangan benang yang terikat horizontal.
Pos observasi bulan berada tepat dipinggir laut. Dengan ketinggiannya sedikit lebih tinggi dari permukaan laut. Berlantai dua yang terbuka untuk umum setiap awal Ramadhan.
Meski berada di lokasi yang cukup sulit, pusat observasi bulan ini menarik perhatian masyarakat. Mereka berduyun-duyung mendatangi pusat observasi. Berharap dapat menjadi saksi kehadiran hilal Ramadhan.
Ahmad Budiawan, mahasiswa Cirebon ini sengaja dating ke pusat observasi bulan milik Kementerian Agama ini. Hanya untuk bisa melihat langsung prosesi penetapan hilal Ramadhan.
“Kebetulan saya juga mahasiswa dari UIN Cirebon. Ada mata kuliah yang berkaitan pada ilmu falaq. Kesini sekalian belajar praktek,” imbuhnya.
Budiawan tidak sendiri. Dia bersama rombongan mahasiswa dari kampusnya. Datang menggunakna bus yang diparkir cukup jauh dari lokasi pusat observasi.
“Jalannya kan sempit untuk dilewati bus. Jadi sebagaian jalan kaki menuju ke pusat observasi. ADa pula yang numpang kendaraan warga lainnya,” tuturnya.
Melihat animo masyarakat yang begitu besar terhadap pusat observasi bulan, Kementerian Agama berniat menjadi sejumlah lokasi pemantauan bulan itu sebagai objek wisata ilmiah. Dengan mengelola secara lebih baik lagi.
Apalagi keterlibatan masyarakat secara langsung saat pemantauan awal Ramadhan bisa lebih meingkatkan pemahaman terhadap perbedaan. Sekaligus belajar secara langsung metode penetapan Ramadhan.
Koordinator tim pengamat hilal DPP Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) Pahala Sibuea menegaskan kehadiran pusat observasi bulan yang terbuka bagi umum sangat baik. Memberikan pemahaman terhadap metode perhitungan awal bulan secara langsung.
Tak itu saja, dia mengatakan LDII secara aktif memberikan ruang bagi masyarakat untuk ikut terlibat. Apalagi tim pengamat hilal LDII pun menyiapkan peralatan pemantauan bulan yang dapat digunakan masyarakat.
“Ada dua teropong berteknologi canggih ini melihat bulan. Dengan begini masyarakat tahu apa sebenarnya persoalan dari polemik penetapan Ramadhan,” terangnya. (*) –