Badan Pusat Statistik (BPS) menyodorkan data pengguna internet mencapai 71,19 juta pada 2013. Angka ini terus meningkat dari tahun ke tahun. Fenomena di dunia maya ini memiliki imbas yang besar di dunia nyata. Butuh gerakan nyata agar internet dimanfaatkan secara sehat dan produktif.
Ketua Umum LDII Prof DR Abdullah Syam, Msc menyebut membanjirnya informasi di dunia maya harus disikapi dengan bijak. Internet yang awalnya untuk pertukaran informasi, baik suara maupun data, seharusnya bisa membantu manusia dalam beraktivitas. Persoalannya, di internet informasi seperti tanpa batas dan tanpa saringan. Semua orang berhak mengisi informasi.
Demikian halnya di sisi dakwah, internet bisa sangat membantu sekaligus bisa menyesatkan, “Sudah mulai muncul kutipan-kutipan ayat Quran di dunia maya yang salah. Ini kan bahaya kalau tidak diluruskan,” ujar Abdullah Syam saat ditemui di Focus Group Discussion (FGD) Dakwah Dunia Cyber dan Internet Sehat di kantor DPP LDII, Jakarta, Jumat (28/2/2014). Persoalan lain, berbagai upaya pihak-pihak tertentu untuk menyesatkan umat Islam, marak pula di internet.
Menurut Abdullah Syam, tugas ulama dan orangtua bertambah, yakni mencegah berbagai upaya yang dapat merusak iman pengguna internet. Sekaligus memberikan pengetahuan dan peningkatan keimanan bagi generasi muda yang senang bermain internet. “Gerakan dakwah cyber harus terus digencarkan. Ini yang perlu diperhatikan para mubaligh dan pendakwah,” ujarnya.
LDII membagi dua sesi FGD. Sesi pertama berkaitan dengan dakwah di dunia maya dan sesi kedua mengenai pemanfaatan internet yang sehat dan produktif. Untuk sesi pertama, pembicara utama antara lain Sekretaris MUI Jakarta DR Robi Nurhadi dan Ketua DPP sekaligus Litbang MUI Ir Teddy Tsuratmadji Msc.
Senada dengan Abdullah Syam, Robi menegaskan pentingnya pengelolaan penggunaan internet, karena pengisi informasi di internet itu tak selalu bertujuan baik. Terlebih berkaitan pada keilmuan agama yang bisa menjadi sasaran informasi tak layak. “Kalau yang membaca itu tak memiliki pengetahuan cukup, maka informasi agama yang sesat melalui internet itu bisa mempengruhi imannya,” ujar Robi. Dia menyeru agar para juru dakwah giat membagi ilmunya di dunia maya, untuk meminimalisasi pengetahuan agama yang justru menyesatkan.
Etika Berinternet
Lantas bagaimana peran pemerintah dalam mengatur informasi di internet? Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo) melalui Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika menyiapkan etika siber untuk menangkal konten negatif dalam penggunaan internet di Indonesia.
“Misi etika siber itu untuk menjaga konten positif di Indonesia dari konten negatif dari luar negeri. Ini wujud keinginan adanya kedaulatan internet Indonesia,” kata Direktur Pemberdayaan Informatika Ditjen Aplikasi Informatika Kemkominfo, Mariam F Barata.
Etika siber itu salah satunya diterapkan melalui tiga upaya pendekatan perlindungan terhadap bahaya internet, yakni melalui teknologi, hukum dan sosio-kultural. Terlebih lagi fenomena media sosial memberikan dampak pada budaya masyarakat perkotaan. Persebaran informasi kian mudah, yang memungkinkan informasi akurat dan sampah berbaur.
Pemerhati media Agus Sudibyo mengatakan warga dunia maya atau “netizen” harus menginisiasi kode etik media sosial untuk mencegah penyalahgunaan internet. “Sebab, medsos (media sosial) mendorong pendekatan parsitipatoris yang menjadikan setiap orang adalah subjek dan sumber informasi. Maka, dibutuhkan kode etik untuk menghindari, misalnya, persebaran kabar bohong,” kata Agus.
Pendekatan parsitipatoris yang dimaksud Agus berkaitan dengan peranan para pengguna medsos yang memiliki kecenderungan menuju ke arah jurnalisme warga. “Setiap orang bisa jadi sumber informasi dengan adanya medsos,” ujar dia.
Di sisi lain, keadaan tersebut membuka peluang besar terjadinya penyalahgunaan medsos untuk penyebaran kabar bohong dan provokasi misalnya. Ia menyadari bahwa masyarakat pengguna medsos memiliki keengganan untuk dikategorikan sebagai bagian dari pers sebab adanya ikatan dengan kode etik jurnalistik.
“Para penggiat medsos memang tidak berkeinginan dikategorikan sebagai pers sebab banyak aturannya. Maka, untuk itu sebaiknya segera diinisiasi kode etik medsos yang sesuai dengan ide dan semangat jurnalisme warga di medsos,” ujarnya.
Agus meyakini bahwa apabila kode etik medsos betul dirumuskan dan berasal dari pihak pemerintah, akan ada keengganan tertentu yang bermunculan di kalangan pengguna. “Ketimbang dapat dari Pemerintah, pengaturan soal kode etik sebaiknya berasal dari inisiatif masyarakat sendiri dan Dewan Pers ataupun Kementerian Komunikasi dan Informasi harus melempangkan jalan untuk itu,” ujarnya.
“Pengguna medsos harus belajar dari pengalaman perumusan pedoman media siber. Itu bukan dibuat oleh Dewan Pers, melainkan kawan-kawan media siber berkumpul dan menginisiasi itu sendiri,” kata Agus menambahkan.
Di sisi lain, dia mengaku khawatir dengan keberadaan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). “UU ITE sebenarnya bagus. Tujuannya memerangi kejahatan siber, tetapi di beberapa pasalnya bisa mencederai kebebasan berekspresi serta hak-hak konsumen,” ujarnya.
“Maka, kalau medsos tidak segera dirumuskan kode etik, risikonya adalah setiap saat harus siap dikenai dengan UU ITE,” katanya. Agus juga mengapresiasi kegiatan diskusi yang diadakan DPP LDII dan meyakini kegiatan itu dapat mendorong kehadiran internet dan medsos sebagai tempat ramah keluarga. “Diskusi semacam ini menumbuhsuburkan optimisme adanya internet dan medsos yang ramah keluarga misalnya,” ujar dia.
Ketua DPP LDII Hidayat Nahwi Rasul yang berperan sebagai moderator dalam diskusi tersebut menyatakan bahwa dukungan lembaganya atas kampanye gerakan internet sehat. Menurut Hidayat yang juga anggota Komisi Penyiaran Indonesia Sulsel, sudah semestinya masyarakat bersama-sama dengan Pemerintah dalam menjaga dan memelihara kebaikan dan kebenaran dalam berinternet.
Aspek positif dari internet menurut Hidayat, adalah sumber pengetahuan dan produktivitas. Siapapun bisa memperoleh informasi mengenai segala hal, dari sisi bisnis pemanfaatan internet juga bisa menghasilkan uang, melalui promosi, iklan, ataupun e-commerce. Namun, pengguna juga mesti dibekali filter yang hanya bisa diperoleh dari institusi keluarga dan keagamaan. (LC/LINES)