Surabaya (20/4). Indonesia pada 2030 bakal memperoleh bonus demografi. Di mana generasi yang lahir pada 1980 hingga 2000, mencapai usia produktif pada tahun itu. Jumlah mereka mencapai 70 persen dari seluruh penduduk Indonesia, yang artinya mampu mendorong pertumbuhan Produk Domestik Bruto secara signifikan. Generasi ini berciri akrab dengan gadget, memaksimalkan internet, hingga sosial media.
Saat ini proporsi generasi milenial mencapai 34,45 persen dari seluruh populasi penduduk Indonesia. Mereka memiliki keunikan dibanding Generasi X atau Baby Boomers, karena generasi ini sangat kental dengan budaya pop/musik dan teknologi, mereka juga tak bisa dipisahkan dari internet maupun hiburan. Bahkan riset Boston Consulting Group(BCG) bekerja sama dengan University of Barkeley pada 2011, generasi milenial memiliki karakteristik: percaya teknologi, menjaga citra, multitasking (serba bisa), terbuka pada perubahan, percaya diri, memiliki tujuan tim, kaya informasi, tidak sabaran, dan mudah beradaptasi.
“Keakraban mereka dengan internet dan sosial media, menjadikan generasi milenial sebagai warga dunia tanpa batasan ideologi dan teritorial. Tanpa bimbingan mereka bisa memaknai budaya Barat merupakan sesuatu modern, lalu muncul anggapan nilai-nilai bangsa menjadi sesuatu yang konservatif atau kuno,” ujar Ketua DPW LDII Jawa Timur, Amien Adhy.
Lalu muncul kekhawatiran, mengenai kian menjauhnya generasi milenial dari nilai-nilai Pancasila yang selama 73 tahun menjadi perekat bangsa. LDII memandang nilai-nilai Pancasila mampu menyatukan bangsa Indonesia yang terdiri dari 1.340 suku bangsa (BPS, 2010), berbagai agama, dan ras, “Para pendiri bangsa ini membuat Pancasila yang digali dari nilai-nilai luhur bangsa dari Sabang hingga Merauke, inilah yang menjadi perekat bangsa Indonesia,” imbuh Amien.
Menurut Amien, bila generasi milenial menjadikan panutan ideologi impor yang belum tentu cocok dengan budaya bangsa, dan kemudian mengabaikan Pancasila, maka bangsa dan negara ini sedang menghadapi potensi ancaman dan kerusakan yang serius. Pertandanya, sudah tampak, imbuh Amien. Ia mencontohkan liberalisme membuat beberapa generasi muda tak menghargai orangtua ataupun menghargai orang lain, sehingga muncul sikap individual yang jauh dari nilai-nilai kegotongroyongan.
Pergaulan bebas yang merupakan bentuk dari kebebasan HAM dan liberalisme Barat telah membudaya di kota-kota besar, tentu ini mendatangkan masalah sosial dan psikologis, “Pergaulan bebas itu merupakan cerminan rapuhnya nilai-nilai keluarga. Ini memiliki beberapa dampak, misalnya maraknya penggunaan narkoba ataupun bertumbuhnya LGBT di kalangan generasi muda,” imbuh Amien.
Sementara menanamkan Pancasila kepada generasi milenial bukanlah perkara mudah. Menurut Amien, doktrinasi semisal penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) ataupun seminar-seminar, sulit untuk menjangkau generasi milenial, “Generasi milenial menjadikan popularitas seseorang di media sosial sebagai panutan, selain itu budaya baca mereka kebanyakan berkurang,” imbuh Amien.
Keprihatian inilah yang mendorong DPW LDII Jawa Timur menggelar Seminar Nasional Pancasila dengan tema: “Pembudayaan Pancasila Pada Era Generasi Milenial”. Acara ini akan digelar pada Sabtu, 21 April 2018 di Aula Pondok Pesantren Sabilurrosyidin, Jalan Gayungan VII No 11 Surabaya.
Perhelatan ini menghadirkan Kepala Staf Presiden Jenderal (Pur) TNI Moeldoko sebagai keynote speaker, sementara pembicara lainnya adalah Dr. Chaider S Bamualim, MA Staf Ahli Utama Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dengan materi “Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka”, Prof. Akhmad Muzakki, Ph.D Dekan FISIP UINSA dengan materi “Tantangan Pembudayaan Pancasila di Era Generasi Milenial”, Dr. Rahma Sugiharti, M.Si Staf Pengajar FISIP UNAIR dengan materi “Dilema Pembudayaan Pancasila dan Nasionalisme Pada Generasi Milenial”, dan Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono, Guru Besar Ilmu Sejarah UNDIP/Dewan Pakar DPP LDII dengan materi “Relevansi Mengenal Sejarah Lahirnya Pancasila Bagi Generasi Milenial”.
Amien berharap, seminar kebangsaan ini menemukan konsep yang solutif bagaimana membudayakan Pancasila di kalangan milenial. Dari konsep ini bisa melahirkan aksi strategis untuk menghidupkan nilai-nilai Pancasila di kalangan generasi milenial, yang merupakan modal membangun bangsa dan negara di masa depan.
LDII meyakini, generasi muslim milenial yang mengamalkan Al Quran dan Al Hadist serta memiliki kepribadian Pancasila, menjadikan Indonesia lebih baik di masa depan. Yakni generasi yang bersendikan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, mau bermusyawarah untuk kebajikan dan mengamalkan nilai-nilai keadilan sosial.
Selain itu, seminar nasional ini merupakan upaya mencari berbagai masukan untuk persiapan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) DPP LDII yang akan berlangsung pada Oktober 2018 nanti. LDII sejak 1972 telah menjadikan Pancasila sebagai asas organisasi, untuk itu LDII berkepentingan menanamkan nilai-nilai Pancasila kepada generasi mendatang.