ARAFAH- Di antara jutaan umat muslim yang tengah melakukan wukuf di Arafah, Kamis (25/10), terdapat belasan tenda tak bernomor maktab. Meski tanpa nomor, tenda-tenda tersebut penuh dengan ribuan jamaah. Selain dari Indonesia, tenda-tenda itu dihuni juga oleh jamaah haji dari berbagai negara, antara lain Libia, Suriah, Afrika Tengah, India, dan Afghanistan.
Fasilitas di tenda-tenda ini sama dengan yang ada di tenda resmi lain. Ada kipas angin besar dan beberapa pendingin ruangan (AC). Satu-satunya yang membedakan adalah nomor maktab. Kenapa tak ada nomor? Tenda ini tak diberi nomor maktab –semacam nomor urut rumah– karena memang setengah resmi. Para penghuninya adalah ”kaum furroda” atau ”mandiri”, yang di Indonesia akrab disebut haji non kuota. Para jamaah yang menempati tenda tersebut seluruhnya berangkat haji lewat jalur tak resmi, namun visa mereka tetap visa haji.
”Saya bayar Rp 60 juta. Sekitar dua bulan lalu, saya bayar dulu 50%. Oleh pihak travel, visa haji saya lantas diurus dan ternyata pada 10 Oktober keluar. Begitu visa keluar, saya langsung melunasinya. Alhamdulillah akhirnya berangkat,” ujar Suratman, penjual mainan di Pasar Gembrong, Jakarta, yang sudah dua kali berangkat lewat jalur non kuota.
Tak semua pemohon visa ke Kedubes Arab Saudi dikabulkan. Dari ribuan pemohon, jumlah yang tahun ini beruntung mendapatkan izin masuk ke Arab Saudi tak lebih dari 500-an orang. Berbeda dengan tahun lalu yang angkanya sampai tiga ribuan. Tapi, tak mudah memilih jalur ini. Selain rawan penipuan saat di Tanah Air, ketika sampai di Tanah Suci, Arab Saudi, perjuangan lebih berat sudah menanti. Karena berstatus non-kuota, mereka tak diurus oleh panitia ibadah haji yang dibentuk Pemerintah Indonesia atau Misi Haji Indonesia. Para jamaah ini harus mengurus dirinya sendiri.
Ketika jamaah haji resmi tiba di Bandara Madinah atau Jedah langsung disambut angkutan bus yang sudah disiapkan Misi Haji Indonesia untuk mengantar mereka ke hotel, jamaah non kuota tidak demikian. Mereka mesti mencari angkutan sendiri. Jika kebetulan ada taksi, urusan menjadi sedikit ringan. Namun jika tidak, boleh jadi mereka akan keleleran dulu sebelum menemukan solusi. Padahal, baik di Bandara King Abdul Aziz Jedah maupun Pangeran Muhamaad Bin Abdul Azis Madinah, taksi termasuk barang langka.
Setelah mendapatkan taksi pun, urusan para furroda ini tak lantas beres. Mereka masih harus berjuang mencari penginapan –yang jauh lebih sulit dibanding mencari taksi– ketika berada di Makah. Maklum, dengan jumlah jamaah haji dari berbagai belahan dunia mencapai sekitar lima juta orang, hotel-hotel di Makah menjadi penuh sesak. Tak jarang satu kamar yang mestinya dihuni empat orang, dijejal menjadi hingga sembilan jamaah.
Para jamaah ini pun akhirnya menginap di sembarang tempat. Mereka yang cukup duit menyewa rumah atau apartemen yang tersisa dengan harga selangit, namun kebanyakan mendirikan tenda-tenda kecil di pinggir jalan, lorong, atau bawah jembatan.
Jika travel yang mengurus mereka bertanggung jawab, para jamaah ini diberi nomor penghubung di Jedah, Madinah, atau Makah. Para penghubung ini biasanya adalah kaum mukimin atau orang-orang Indonesia yang sudah lama tinggal di Arab Saudi. Lewat jasa mereka inilah para jamaah itu bisa mendapatkan layanan transportasi dan maktab.
”Saya bayar 300 riyal untuk biaya bus agar bisa masuk Arafah. Kalau maktabnya saya bayar 600 riyal,” ujar Suratman. Ongkos setara dikeluarkan oleh Dodi Mulyadi dari Bandung dan Chaerudin dari Palembang. Pemerintah Arab Saudi menetapkan aturan yang sangat ketat bagi para calon jamaah haji. Salah satunya adalah larangan masuk ke Arafah bagi semua kendaraan yang tidak ditempeli stiker yang dikeluarkan Naqabah, semacam asosiasi angkutan darat di Indonesia. Untuk mendapatkan stiker tersebut, satu mobil harus membayar 1.500 riyal atau sekitar Rp 3,8 juta.
Nah, ongkos 300 riyal yang dibayarkan oleh jamaah non kuota inilah yang kemudian dikumpulkan oleh penghubung mereka untuk membeli stiker. Demikian juga ongkos maktab. Yang tidak beruntung, seperti Achmad Bacing dari Ternate, harus menerima kenyataan pahit. Dia hanya mendapatkan visa dan tiket berangkat ke Saudi. Tak ada penghubung, hotel, dan juga makan. Bersama 13 rekan lainnya dari Sulawesi Selatan, Bacing sempat telantar sebelum akhirnya difasilitasi Misi Haji Indonesia dan dihubungkan ke pihak Naqabah dan Maktab agar bisa menunaikan haji.
Selama di maktab atau tenda, karena mereka sudah membayar 600 riyal, ada layanan makan dan minum selama wukuf di Arafah pada 25 Oktober lalu.
Sebagian dari para furroda ini ada yang bertingkah seperti backpacker, pelancong minimalis. Mereka ke Arafah berjalan kaki, menempuh jarak sekitar 20 km dari Makah. Setelah itu, untuk mabit (menginap) di Muzdalifah, mereka pun berjalan. Demikian saat menuju Mina untuk mabit dan melempar jamarat. Semuanya dengan jalan kaki. Tapi, saat masuk Arafah, para furroda ini juga harus menempuh perjuangan berat.
Jika tak punya izin, mereka harus mengendap-endap, melompati pagar pembatas Arafah, untuk bisa wukuf. Dalam Islam, tanpa wukuf, haji seseorang memang tidak sah sehingga apapun akan dilakukan jamaah agar bisa ikut wukuf. Tetapi, justru karena menjadi backpackers dengan jalan kaki inilah haji mereka menjadi ”lebih” sesuai tuntutan Nabi Muhammad SAW. Mereka masuk Arafah sesuai waktu yang ditetapkan Nabi, sementara jamaah lain –karena harus antre bus– seringkali didorong ke Arafah sejak sehari sebelum wukuf.
Ketika ke Muzdalifah, para jamaah ini juga tepat saat matahari tenggelam tanggal 9 Dzulhijah (25 Oktober), kemudian menginap di tempat tersebut hingga bulan terbenam (sekitar pukul 02.00). Jamaah resmi malah ada yang keleleran di Muzdalifah menanti bus hingga siang tanggal 10 Dzulhijah.
Namun setelah keluar Mina dari melempar jamarat, masalah kembali menghadang para furroda ini. Tak ada penginapan untuk mereka. Maka jadilah jalanan di sekitar jalur keluar Mina, masjid-masjid, lorong jembatan, penuh tenda para furroda dan backpackers ini. Mereka tidur beralasakan tikar tipis di atas aspal yang panasnya luar biasa. Tapi, bagi mereka, perjuangan itu serasa impas. ”Yang penting bisa haji, selamat, dan pulang lagi ke Indonesia,” kata Suratman. (Dep. KIM DPP LDII)
Masyaallah, semoga Allah mudahkan saya ke sana