Banda Aceh (3/6). Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Kota Banda Aceh Tgk Damanhuri Basyir mengungkapkan, pentingnya memahami kearifan lokal, yang dimiliki suatu wilayah ketika berdakwah. Hal tersebut untuk mencegah tumbuhnya paham radikal dan intoleran.
“Ketika seseorang datang ke suatu wilayah membawa konsepnya sendiri, lalu menyalahkan konsep yang ada di wilayah tersebut, bisa menimbulkan paham radikal dan intoleran,” katanya.
Hal tersebut disampaikan Damanhuri dalam diskusi dengan pengurus DPW LDII Aceh di kediamannya di Desa Rukoh, Darussalam, Banda Aceh, Rabu (1/6).
Damanhuri menyoroti fenomena pendakwah yang kurang menguasai ilmu agama dengan benar. Menurutnya, dangkalnya ilmu para pendakwah bisa menyebabkan timbulnya paham radikal dan intoleran.
Pasalnya ia melihat, ada seseorang yang menjadi ustaz tanpa dasar. “Hari ini dia pandai berbicara dan diskusi di kampus-kampus tentang agama, besok sudah dianggap ustaz,” ujarnya.
Padahal, menurutnya, menjadi seorang ustaz harus memahami alatnya, seperti hadis disampaikan ke siapa, apa bunyinya, apa maksud dari hadis tersebut. “Karena teks hadist bila disampaikan begitu saja, belum tentu cocok untuk semua,” jelasnya.
Ia menjelaskan, terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memahami ilmu hadis. “Bukan lantas mendapat sebuah teks hadis yang sohih, lalu dengan itu menyalahkan orang lain. Ketika ini tidak dipahami, maka bisa menimbulkan paham radikal dan intoleran,” tegasnya.
Damanhuri mengatakan, dakwah itu mengajak manusia ke arah yang baik, bukan menghakimi dan mengatakan orang lain sesat, “Saya di MPU tidak pernah memakai istilah itu (menyesatkan orang lain), yang kami anggap salah itu dimana, kami diskusi, kami betulkan, kami panggil ahlinya untuk menjelaskan itu,” tuturnya.
Selain itu, menurutnya, pengaruh lingkungan sangat mudah untuk membentuk sikap seseorang menjadi radikal dan intoleran. Oleh karena itu, dalam menyiarkan dakwah ada hal-hal yang perlu untuk dipahami.
“Sosiologis, historis, filosifis dan psikologis, jadi keempat hal inilah yang perlu dipahami dengan baik agar tidak terjebak dengan paham radikalisme,” katanya.
Dosen UIN Ar-Raniry di bidang ilmu filsafat itu mengajak LDII untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi di tengah-tengah umat melalui jalan diskusi. “LDII saya ajak berdikusi, MPU sangat terbuka, jika ada yang salah, maka bagaimana diperbaiki, jangan sampai menyinggung, yang ujungnya terjadi perpecahan” ujarnya.
Senada dengan Damanhuri, Ketua DPW LDII Aceh Marzuki mengatakan, semua masyarakat harus sepakat untuk tidak memberi ruang bagi tumbuhnya radikalisme. “Untuk itu, perlu memperkokoh kearifan lokal, karena akan mampu menangkal radikalisme,” katanya.
Marzuki mengungkapkan, bahwa penyebaran radikalisme masih eksis di berbagai lingkungan masyarakat. “Di antaranya ada yang terang-terangan tampil di publik berbicara tentang hal-hal yang tidak sesuai dengan adat ketimuran,” ujarnya.
Selain kearifan lokal, menurut Marzuki, perlu adanya pendekatan psikologi dan agama kepada masyarakat luas. “LDII sebagai salah satu ormas Islam sangat mendukung upaya pemerintah dalam mencegah radikalisme dan intoleran di tengah-tengah masyarakat,” tambahnya. (rew: FF/Lines)
Berdakwah lbh mengedapankan bilhal, ketimbang bil lisan. Di era sekarang peelu jg adanya moderasi dalam agama. Kita hidup dikalangan yg menjunjung tunggi perbedaan pendapat dan meyakini dan memeluk agama. Tetap kita jaga juga toleransi antar ummat beragama. Belum lagi kalau kita fahami bahwa tdk boleh ada pemaksaan dalam memeluk agama. Namun tetap kita berdakwah dengan menjaga kerukunan, jgn sampai menimbulkan perpecahan. Dengan penuh rasa aman nyaman dan damai tentunya.
teruslah berdakwah untuk umat yg lebih baik