Jakarta (27/5). Leluhur bangsa Indonesia telah lama meramu tanaman obat menjadi jamu. Resep obat kuno itu, bahkan hadir dalam minuman yang lezat dan menyegarkan yang menarik minat generasi muda untuk mengkonsumsinya.
“Jamu dan obat herbal merupakan warisan budaya dari nenek moyang bangsa Indonesia. Manfaat jamu juga diharapkan bisa dirasakan oleh generasi muda di seluruh nusantara saat ini,” ujar Ketua DPP LDII Rubiyo, dalam pesannya mengenai Peringatan Hari Jamu Nasional pada Senin (27/5).
Hari Jamu Nasional pertama kali diperingati pada tahun 2008 di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pada saat itu, eksistensi jamu dirasa semakin memudar. Untuk mengatasi hal tersebut, maka ditetapkanlah Hari Jamu Nasional setiap tanggal 27 Mei.
Pada tahun 2024, Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM) akan menyelenggarakan Pekan Jamu bertema ‘Sehatkan Negeri Bersama Jamu’ untuk memperingati Hari Jamu Nasional.
Rubiyo yang juga Profesor Riset Tanaman Perkebunan Organisasi Riset Pertanian dan Pangan – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengatakan tema tersebut selaras dengan penerimaan jamu di tengah masyarakat Indonesia, “Jamu sudah banyak dikonsumsi oleh masyarakat, maka seharusnya sudah diperkenalkan kepada seluruh masyarakat Indonesia sejak dini,” tuturnya.
Sayangnya, masih terdapat pandangan jamu hanya milik suku Jawa dan hanya dikonsumsi para orang tua, “Memang jamu itu identik dengan orang Jawa. Jadi yang sering berhubungan dengan jamu biasanya orang jawa dan sudah tua. Kalo anak muda, apalagi bukan orang Jawa, jarang sekali mau minum jamu,” kata Rubiyo, Senin (27/5).
Pria kelahiran Gunung Kidul, Yogyakarta itu mengatakan jamu dan tanaman herbal penting untuk dilestarikan. Baik itu dalam bentuk produk jamu maupun dalam bentuk koleksi plasma nutfah, yang berupa tanaman penghasil jamu, obat maupun herbal.
Diakui Rubiyo generasi milenial dan generasi Z, alias GenZ, jarang sekali yang menyukai minum jamu maupun obat herbal. Selain rasanya yang pahit, jamu dan obat herbal bukan menjadi gaya hidup mereka. Profesor Rubiyo juga mengakui anak muda zaman sekarang jarang dikenali produk-produk jamu dan obat herbal secara utuh.
“Artinya, dari bayi sampai dewasa lebih sering dikenalkan dengan obat-obatan kimia yang sudah instan. Sehingga perlu upaya untuk mengemas atau menyajikan jamu dengan lebih modern,” ujarnya.
Berbeda dengan anak zaman sekarang, Pria 60 tahun itu bercerita dia sudah mengkonsumsi jamu sejak muda. Bahkan jamu dan obat herbal sudah menjadi bagian dari hidupnya sejak kecil. Sebab orang tua zaman dulu sudah mengenalkan bahwa jamu itu baik untuk kesehatan kepada anak-anaknya, mulai dari jamu beras kencur hingga kunyit asem.
Jarangnya generasi muda menjadikan minum jamu sebagai gaya hidup, sangat disayangkan Rubiyo. Mengingat, Negara Indonesia kaya dengan plasma nutfah untuk tanaman obat, rempah maupun herbal. Misalnya, tanaman sambiloto, temulawak, hingga brotowali adalah tanaman istimewa yang jika diolah menjadi jamu berkhasiat untuk mencegah penyakit degeneratif.
Penyakit ini berkaitan dengan penurunan fungsi sel, jaringan, atau organ tubuh yang diakibatkan penuaan dan faktor lainnya. Dalam kaitannya jamu dan obat herbal, anak muda penting mengetahui manfaat ini untuk pencegahan agar tidak terkena penyakit degeneratif sejak dini.
Menurut Rubiyo, mendiseminasikan informasi terkait manfaat jamu di zaman sekarang seharusnya tidak susah. Sebab, inovasi teknologi sudah berkembang maju. Informasi tentang jamu dan obat herbal harus dikemas semenarik mungkin, agar manfaat tersebut dapat diterima di kalangan anak muda.
“Generasi millennial hingga generasi Z biasanya akan mudah memahami informasi lewat teknologi. Baik di Youtube, IG maupun media sosial yang lainnya. Pemerintah juga perlu menyesuaikan diseminasi informasi lewat platform-platform tersebut, saat ini sedang diwacanakan untuk itu,” kata Rubiyo.
Selain itu, produk jamu dan obat herbal perlu dikemas, maupun disajikan dalam bentuk produk yang lebih modern. Saat ini memang ada produk-produk herbal yang dikemas secara modern, seperti tolak angin dan sebagainya.
Rubiyo yakin, dengan pengemasan yang lebih modern, akan ada lebih banyak anak muda yang beralih mengkonsumsi jamu maupun obat herbal, ketimbang meminum obat dari bahan kimia. Ia juga berharap, jamu dan obat herbal menjadi salah satu komoditas bernilai ekonomis yang menjadi pemasukan bagi negara.
“Kita sedang mendesiminasikan agar generasi muda memahami dan nyaman mengonsumsi obat jamu dan herbal. Generasi muda harus diperkenalkan, makanya saya sedang menyusun bagaimana mengenalkan tanaman rempah dan obat untuk dibagikan ke khalayak umum,” pungkasnya.
Tak kenal maka tak sayang, maka diperlukan diseminasi “Jamu”, semoga Generus cinta dengan jamu sehingga sehat kuat lancar ibadahnya.