Fenomena ‘Urban Farming’ saat ini semakin digemari oleh masyarakat perkotaan karena dinilai sebagai solusi praktis untuk ketahanan pangan keluarga. Tidak lagi terbatas pada pola pertanian konvensional yang membutuhkan lahan luas, urban farming menjadi pilihan yang lebih adaptif dengan gaya hidup perkotaan.
Urban farming adalah praktik bercocok tanam dan beternak yang dilakukan di lingkungan perkotaan. Sistem ini memungkinkan masyarakat perkotaan untuk memanfaatkan lahan terbatas, seperti pekarangan kecil, balkon, atau atap rumah, untuk memproduksi bahan pangan secara mandiri dan lokal. Selain mengurangi ketergantungan pada pasokan pangan eksternal, urban farming juga berperan dalam meningkatkan keberlanjutan lingkungan dengan mengurangi jejak karbon yang terkait dengan distribusi makanan.
Konsep urban farming inilah yang tengah dikembangkan oleh Supartini, seorang warga LDII Jakarta Utara, yang berfokus pada solusi ketahanan pangan di tengah kehidupan modern. Bersama keluarganya, Supartini berhasil menyulap rooftop rumahnya seluas 40 meter persegi menjadi lahan pertanian perkotaan. Di sana, ia menanam berbagai jenis tanaman buah, tanaman herbal, dan sayuran secara mandiri.
“Awalnya, saya mulai mengembangkan urban farming saat masa pandemi COVID-19. Saat itu, saya mencoba memanfaatkan atap rumah yang hanya berukuran 5×8 meter untuk menanam bahan pangan,” ucap Supartini.
Meski memiliki latar belakang pendidikan pertanian, Supartini mengakui bahwa tidak semua pengetahuannya dapat langsung diaplikasikan dengan mudah, “Dulunya saya memang sekolah di jurusan pertanian, tapi waktu pertama kali mencoba menanam, saya tetap mengalami banyak kesulitan,” katanya.
Ia kemudian banyak belajar secara otodidak melalui berbagai sumber, dengan berselancar melalui internet. Setelah menghadapi banyak tantangan dan terus berusaha mencari informasi, Supartini akhirnya berhasil, “Setelah berusaha keras, cari informasi ke sana kemari, apa yang saya tanam akhirnya bisa tumbuh dengan baik. Bahkan sekarang saya bisa menanam padi di atap rumah saya menggunakan polybag,” tambahnya.
Di halaman atapnya, Supartini menanam berbagai jenis tanaman seperti ubi, cabai, tanaman rempah, jambu, dan tanaman herbal seperti daun kelor dan daun kedi. Dalam menanam, Supartini menggunakan kompos yang ia buat sendiri dari sisa-sisa dapur rumah tangganya. Dengan metode ini, ia menghindari penggunaan pupuk kimia dan memanfaatkan limbah organik yang ada di rumah. “Saya membuat kompos dari sisa-sisa sayuran, buah, dan bahan makanan lainnya yang tidak terpakai,” jelas Supartini.
Ia menjelaskan lebih lanjut proses yang ia lakukan dalam membuat kompos. Pertama, sisa-sisa sampah rumah tangga seperti sayuran, buah-buahan, dan bahan makanan lainnya dicacah dan dihancurkan. Setelah itu, sampah organik tersebut ia campur dengan pupuk kompos yang sudah jadi, yang dibelinya untuk mempercepat proses dekomposisi. “Setelah saya tambahkan pupuk kompos yang sudah saya beli, saya pastikan semuanya tercampur rata,” ungkapnya.
Supartini juga menggunakan tanah merah sebagai bahan tambahan dalam campuran kompos tersebut. Menurutnya, tanah merah membantu meningkatkan kualitas kompos serta memberikan struktur yang baik bagi tanah tanamannya, “Setelah semuanya tercampur, saya ratakan campuran tersebut di tempat penampungan khusus. Saya juga menampung air hasil dari proses fermentasi kompos ini, yang kemudian bisa digunakan sebagai pupuk cair,” jelasnya.
Menurut Supartini, kunci keberhasilan dalam membuat kompos adalah kesabaran dan ketelatenan. “Banyak orang yang merasa jijik saat berurusan dengan sampah rumah tangga, padahal ini adalah bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Jika tidak sabar dan jijik, ya tidak akan jadi komposnya,” ujarnya.
Baginya, pembuatan kompos sendiri bukan hanya tentang mengurangi limbah, tetapi juga memberikan nutrisi alami bagi tanaman di kebun rumahnya tanpa harus bergantung pada pupuk kimia.
Usai mengembangkan urban farming di rumahnya, Supartini kini merasakan banyak manfaat dari usahanya tersebut. Salah satu perubahan terbesar yang ia alami adalah kemandiriannya dalam hal kebutuhan sayuran sehari-hari. “Yang pasti sekarang saya sudah tidak lagi beli sayuran, seperti daun ubi, bayam, kangkung, daun pepaya, cabai, dan lainnya. Semua sudah tersedia di rumah sendiri,” katanya.
Tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan pangan keluarganya, hasil panen Supartini bahkan cukup melimpah untuk dibagikan kepada tetangga.
Dalam menjalankan kegiatan berkebunnya, Supartini tidak bekerja sendiri. Ia berbagi peran dengan suami dan anaknya. Mereka membagi waktu dan tugas agar urban farming yang mereka jalani berjalan dengan baik. “Kami bagi waktu. Saya yang bertugas menyiram tanaman setiap hari dan memindahkan tanaman yang perlu diperbaiki atau direpot, misalnya ke pot yang lebih besar agar bisa tumbuh subur. Itu tugas saya,” ungkap Supartini.
Bagi mereka, urban farming tidak hanya menjadi solusi untuk pangan, tetapi juga langkah nyata dalam menjaga keberlanjutan lingkungan dan memberdayakan masyarakat melalui praktik sederhana yang bermanfaat. Dengan semakin banyak orang yang tertarik pada praktik ini, urban farming berpotensi menjadi salah satu cara untuk menghadapi tantangan pangan dan lingkungan di masa depan.