Teh sudah ada sejak 4.000 tahun sebelum masehi. Mulanya dikenal sebagai minuman kaisar lalu populer, disuka orang tua sampai anak-anak.
Di sudut Dukuh Sribit, Kecamatan Jatinom, Klaten, Jawa Tengah, selemparan batu dari Pondok Pesantren Al Manshurin, Dwi (30 tahun) sibuk menata kudapan di angkringannya. Sejak pukul 07.30 di tengah kesiur angin musim kemarau panjang yang garing itu, ia menjerang air. Tangannya cekatan menata kudapan yang terdiri berbagai gorengan, nasi bungkus, kepala dan sayap ayam. Ada juga beragam sate ati-ampela, telur puyuh, dan usus.
“Di sini yang juara bakwan bayam dan tehnya,” tutur seorang pengunjung. Lainnya menimpali, kepala dan sayap ayam yang setelah digoreng lalu dibakar sebentar dengan kecap, “Ini saya pesan setiap ke sini. Dan tentu saja es teh manis,” imbuh pengunjung lainnya.
Angkringan milik Dwi hanyalah angkringan sederhana. Luasnya mungkin sekira tiga kali tiga meter. Sejak pagi sudah riuh dengan warga. Sore pun sudah tutup. Angkringan, warung kecil menjadi budaya kuliner yang membentang dari Solo sampai Yogyakarta. Bahkan, kota-kota besar sudah mengadopsinya. Namun teh khas angkringan tidak pernah bisa ditiru.
“Tiap angkringan memiliki resep yang khas, beberapa merek atau jenis teh dicampur. Untuk mengejar rasa, aroma, dan kekentalannya,” ungkap Dwi.
Teh di angkringan – dan tentu saja di rumah-rumah masyarakat Indonesia – bisa dinikmati dengan es, poci, jeruk nipis ataupun jeruk wedangan, dengan gula batu atau gula pasir biasa. Semuanya terasa sedap. Teh bahkan bisa dinikmati dengan susu ataupun boba. Teh rupanya telah melintasi zaman, hingga 4.000 tahun setelah ditemukan.
Menukil situs alimentarium.org, dalam tulisan berjudul The History of Tea, Kaisar Shen Nong adalah orang yang mula-mula menemukan teh. Kaisar China itu, dikenal sebagai bapak pertanian dan kedokteran, yang hidup sekitar 2373 Sebelum Masehi. Di suatu hari saat ia menuruti hasratnya mencari tanaman obat, ia beristirahat di bawah pohon. Badannya memang sedang tak nyaman saat itu. Lalu, ia mengeluarkan peralatannya untuk merebus air. Angin yang bertiup menjatuhkan beberapa helai daun ke dalam air yang sedang ia masak.
Alih-alih membuang daun-daun itu, Shen Nong tetap meminumnya. Tak lama kemudian, ia merasa badannya membaik. Air rebusannya memang terasa sedikit pahit, tapi kaya nutrisi. Sejak itu, ia mempopulerkan daun yang kemudian disebut teh sebagai minuman untuk istana kekaisaran.
Beberapa abad kemudian teh pun menyebar. Ditandai dengan populernya kedai teh di China. Popularitas teh pada abad ke-7, membuat daun keringnya diekspor ke Korea. Jepang menerima teh pertamanya sejak abad ke-12, dan hiduplah seni meminum teh. Para perantau China juga membawa teh ke berbagai negara Asia lainnya, termasuk Indonesia. Para misionaris Eropa tampil sebagai pembawa teh di pedalaman Asia. Pada abad ke-17, sampailah teh di tanah Eropa. Pembawanya adalah para misionaris Belanda, dan menjadi kebiasaan baru bagi orang-orang Inggris. Ya, minum teh sore hari ala Inggris, tea time!.
Saat penjajahan Belanda, banyak dibuka perkebunan-perkebunan teh di lereng-lereng gunung yang subur ataupun dataran tinggi. Salah satunya perkebunan teh Jamus di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Tepatnya di lereng Gunung Lawu. Perkebunan Jamus semula dirintis oleh seorang pengusaha Belanda bernama Van Rappard yang lahir pada tahun 1826. Di tahun 1866, ia mulai menanam teh di Jamus.
Di perkebunan itu terdapat pepohonan teh yang berusia ratusan tahun, “Teh hijau dari Jamus menjadi produk yang digandrungi banyak orang,” kata Pengawas Internal Kebun Teh Jamus Purwanto WP. Menurutnya, perkebunan teh peninggalan Kolonial Belanda sejak 1886, menghasilkan produk teh yang memiliki keunikan tersendiri.
“Saat ini Perkebunan Teh Jamus berusia 141 tahun. Komposisi kebun tehnya, 80-90 persen terdiri dari tanaman teh peninggalan era Kolonial Belanda. Sehingga hasil tehnya jauh lebih baik. Selain itu, memiliki berbagai kandungan yang bermanfaat bagi kesehatan,” ujarnya.
Produk yang dihasilkan dari Perkebunan Teh Jamus yang utama adalah teh hijau. Teh jenis ini banyak diburu karena membantu orang-orang yang menjalani diet, sekaligus mengambil manfaat obatnya, “Produk yang paling populer ialah teh rasa kopi dan teh hijau,” ujarnya.
Ia memamparkan tahapan membuat teh hijau yang baik mulai tahap pemetikan hingga pengeringan teh. “Tahapan awal, mulai dari daun teh segar dilayukan dengan menggunakan mesin, lalu digiling dengan mesin roller. Setelah itu, dilakukan pengeringan awal dan terakhir pengeringan akhir,” tutur Purwanto.
Teh hijau yang dhasilkan perkebunan itu, mengandung polifenol yang tinggi. Zat tersebut membantu meningkatkan fungsi pembuluh darah, menurunkan tekanan darah, dan mengurangi kadar kolesterol jahat (LDL). Dengan mengonsumsi teh hijau secara teratur, diyakini dapat menjaga kesehatan jantung dan mengurangi risiko serangan jantung dan stroke.
Teh Sebagai Gaya Hidup Sehat
Teh pun terus berevolusi. Dari sekadar diseduh dengan air panas alias teh tubruk menjadi teh beraneka rasa. Menikmati teh tak hanya di angkringan, tapi juga di mal. Produk-produk teh boba misalnya, yang berasal dari Taiwan, kini laris manis waralabanya. Teh sudah menjadi gaya hidup.
“Teh itu bikin santai dan tenang hingga tingkat ketenangan yang hakiki,” ujar penikmat teh pengusaha penyedia jasa internet dan energi terbarukan Dody Taufiq Wijaya.
Teh menghadirkan gaya hidup sehat. Seturut situs resmi Kementerian Kesehatan, teh mempunyai banyak manfaat bagi kesehatan di antaranya, melawan radikal bebas, membantu menurunkan berat badan, membuat kulit lebih sehat. Teh juga bisa mengurangi risiko serangan jantung, alzheimer, diabetes, dan bisa menguatkan gigi. “Dan ini yang paling penting bagi saya, teh bisa meningkatkan kualitas tidur atau istirahat dan saya bisa merasa lebih santai dan nyaman,” imbuh Dody yang juga Sekretaris Umum DPP LDII itu.
Sebagai pecinta teh, Dody menyebut secangkir teh mampu meningkatkan kualitas hidup dan menjadikannya lebih produktif. “Secangkir teh setiap hari sebaiknya tanpa gula dan susu, akan menambah kualitas hidup dan produktivitas. Tubuh terasa lebih santai dan lebih berkualitas, sehingga pikiran jernih dan bisa lebih produktif,” ungkap Dody yang juga alumni Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN).
Rumah merupakan tempat ternyaman baginya menikmati secangkit teh. Bahkan, ia memiliki berbagai koleksi teh dari berbagai daerah, bahkan dari mancanegara. “Saya mengoleksi teh mulai dari teh Tegal, teh hijau, teh herbal, teh bunga chamomile, teh chai India, black tea, dan masih banyak lagi, biasa saya nikmati pagi atau sore,” ucapnya.
Dody membeberkan, ia lebih gemar menikmati teh hijau diseduh dengan air panas 80 derajat. “Kalau sesekali, saya suka juga macha dengan sedikit susu bebas laktosa disajikan panas. Saya tidak begitu suka teh dengan es, lebih suka teh disajikan panas tanpa gula dan susu,” tutur Dody.
“Apapun jenis tehnya, untuk teh tertentu seperti macha dan choi India biasa juga diracik dengan sedikit susu lactose free atau susu kedelai atau almond,” tambah peraih magister dari Universitas New South Wales, Sydney, Australia itu.
Dody pun sepakat, kenikmatan dan khasiat teh itu layak mendapat penghormatan. Saban 15 Desember, penikmat teh di seluruh dunia menjadikannya Hari Teh Internasional. Peringatan yang disepakati sejak 2005 oleh para pekerja teh itu, untuk merayakan manfaat kesehatan, kepentingan ekonomi, dan warisan budaya teh. Sekaligus memastikan produksi yang lebih berkelanjutan mulai dari perkebunan hingga ke cangkir para penikmat teh. (LC, Faqih/LINES)
Teh sudah menjadi minuman harian masyarakat Indonesia…..
Apalagi ditemani pisang goreng dan tempe/tahu goreng
Alhamdulillah…Mugi² Alloh pring Aman Selamat Lancar n Barokah. Aamiin….
Sukses dan barokah