Jakarta (4/7). Upaya penulisan ulang sejarah kebangsaan Indonesia kini tengah berlangsung, dipimpin langsung oleh sejumlah sejarawan terkemuka di tanah air. Program besar yang digagas Kementerian Kebudayaan ini bukan sekadar proyek akademis, melainkan ikhtiar serius untuk merumuskan narasi sejarah yang lebih lengkap, jernih, dan relevan dengan kebutuhan bangsa hari ini dalam rangka meningkatkan kohesi sosial sesama anak bangsa guna mencapai cita-cita kita Bersama, yaitu negara Pancasila yang paripurna.
“Ini bukan penulisan ulang yang dimaksudkan untuk mengganti sejarah seenaknya. Kita ingin memperkuat kohesi sosial, memelihara ingatan kolektif bangsa, sekaligus menyempurnakan narasi sejarah Indonesia dengan temuan-temuan terbaru,” ujar Guru Besar Sejarah Universitas Diponegoro Semarang, Prof. Singgih Tri Sulistiyono, di kanal YouTube Inspirasi Untuk Bangsa pada 17 Mei 2025.
Penulisan ulang ini, kata Singgih, sudah berjalan sejak Januari lalu dengan diawali pembentukan tim editor umum kemudian dilanjut dengan editor-editor jilid. Ia sendiri tergabung dalam jajaran para editor tersebut, bersama sejumlah sejarawan, arkeolog, dan antropolog lintas kampus. Proyek ini menargetkan sepuluh jilid buku sejarah Indonesia, dengan cakupan mulai dari asal-usul geografi Nusantara, perjumpaan budaya (cultural encounter) dengan India, Islam, kolonialisme Barat, hingga babak reformasi dan era pemerintahan Presiden Joko Widodo,” kata Ketua DPP LDII, Singgih.
Menurut Singgih, progres penulisan saat ini berkisar 80 persen lebih. Namun, ia menegaskan bahwa proses ini bukan pekerjaan ruang tertutup. “Kita membuka ruang masukan seluas-luasnya, baik dari akademisi, masyarakat umum, maupun pihak-pihak terkait,” ujarnya.
Semua masukan, lanjut dia, akan dikaji dalam rapat-rapat tim editor, sebelum diolah menjadi bagian dari narasi besar sejarah kebangsaan, dan bahkan akan dilakukan sosialisasi publik yang dipusatkan di berbagai universitas di Indonesia.
Yang membedakan penulisan ulang kali ini, kata Singgih, adalah pengayaan substansi dan metodologinya. Selain tetap menggunakan sumber sejarah lama yang masih relevan, tim juga menggali temuan-temuan baru dari dua dekade terakhir, termasuk sumber lisan yang selama ini kerap terpinggirkan.
“Kita ingin sejarah ini lebih objektif, lebih Indonesia-sentris, tapi tetap memiliki perspektif global. Peristiwa sejarah Indonesia tak bisa dilepaskan dari dinamika global,” tuturnya.
Narasi sejarah ini, tambah Singgih, juga dirancang agar lebih otonom. Artinya, tidak didikte oleh bias kolonial dan kepentingan politik praktis. Isu-isu krusial seperti tragedi 1965 atau Reformasi 1998, yang selama ini sensitif dibicarakan, akan tetap diakomodasi sepanjang ada bukti dan sumber yang dapat dipertanggungjawabkan.
“Suara korban tetap kita dengarkan. Tidak ada yang ditutup-tutupi, tapi semua harus berbasis sumber Sejarah yang otentik dan kredibel” tegas dia.
Menanggapi kekhawatiran sebagian kalangan soal potensi intervensi pemerintah, Singgih memastikan, proyek ini murni untuk kepentingan bangsa, bukan untuk propaganda rezim tertentu. Ia bahkan menyebut, sejarah yang ditulis ulang ini tetap membuka ruang bagi munculnya versi sejarah alternatif.
“Kita tidak sedang menciptakan sejarah tunggal. Ini sejarah kebangsaan yang ditulis dengan pespektif kebangsaan yang menarasikan perjalanan bangsa Indonesia sejak awal hingga masa kontemporer, sehingga bisa memupuk kesadaran siapa diri kita, dari mana kita berasal, dan mau kemana arah perjalanan kita sebagai sebuah komunitas bangsa, yang dalam Bahasa Jawa disebut sebagai ‘sangkan paraning dumadi’. Tentu kita tetap dengan senang hati membuka ruang dari berbagai pihak untuk penulisan Sejarah dengan perspektif yang lain” katanya.
Rencananya, hasil penulisan ini bisa menjadi rujukan utama buku-buku teks di sekolah. Namun, Singgih mengingatkan, materi sejarah tidak bisa diberikan mentah-mentah. Harus ada proses seleksi dan adaptasi agar sesuai dengan usia peserta didik.
“Untuk anak SD dan SMP, fokusnya pada pewarisan nilai kebangsaan. Sementara di tingkat SMA, di samping sebagai Pendidikan moral, pendidikan sejarah harus jadi intellectual training atau latihan berpikir kritis, bukan indoktrinasi,” jelasnya.
Ia menambahkan, perspektif global juga akan ditonjolkan. Misalnya, peristiwa 1965 akan dipahami dalam konteks Perang Dingin dunia, bukan sekadar konflik domestik. Dengan begitu, generasi muda bisa melihat posisi Indonesia dalam percaturan global, sekaligus memahami akar masalah kebangsaan dari kacamata yang lebih luas.
“Kita ingin sejarah tidak berhenti jadi hafalan, tapi menjadi cermin dan pelajaran untuk masa kini dan masa depan yang lebih gemilang,” pungkas Singgih.