Oleh: Faizunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan.
Dunia itu hijau dan manis. Tak salah jika semua mata tertuju kepadanya. Dan semua kaki berlomba menjejaknya. Berburu dengan hukum kerja, kerja dan kerja. Semua mengejarnya. Karena itulah memang hukum kehidupan yang sangat keras yang diyakini banyak kepala. Ujung-pangkalnya cuma satu seenarnya, yaitu kebahagiaan. Semua yang dilakukan adalah untuk mendapatkan kebahagiaan. Oleh karena itu, tidak salah lagi, kebahagiaan merupakan peringkat teratas kembang gula kehidupan yang paling banyak dicari. Apa pun keseharian manusia, dari bersekolah, bersawah, bekerja, berdoa, sampai olah spiritual banyak sekali yang menyebut kebahagiaan sebagai tujuan yang dicari. Sayangnya, sebagian besar orang teramat jarang menemukan kebahagiaan. Hanya sebagian kecil orang yang bisa istirahat dalam kebahagiaan. Beda di antara keduanya sederhana, utamanya, seberapa dalam seseorang menggali makna kebahagiaan. Simaklah ajaran indah Rasulullah ﷺ kepada sahabat Hakim berikut ini;
يَا حَكِيمُ إِنَّ هَذَا الْمَالَ خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ ، فَمَنْ أَخَذَهُ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُورِكَ لَهُ فِيهِ ، وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ كَالَّذِى يَأْكُلُ وَلاَ يَشْبَعُ ، الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى
“Wahai Hakim, sesungguhnya harta itu hijau lagi manis. Barangsiapa yang mencarinya untuk kedermawanan dirinya (tidak tamak, tidak mengemis), maka harta itu akan memberkahinya. Namun barangsiapa yang mencarinya untuk keserakahan, maka harta itu tidak akan memberkahinya, seperti orang yang makan namun tidak kenyang. Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah.” (HR. Bukhari no. 1472 dan Muslim no. 1035).
Kebanyakan orang mengidentikkan kebahagiaan dengan terpenuhinya keinginan. Pengin apel dapat apel. Pengin jeruk dapat jeruk, bahkan lebih. Senang dan bahagia. Makan enak, tidur nyenyak, rekreasi ke tempat indah, pasangan hidup ideal, suasana kerja yang indah, sampai dengan wisata spiritual ke tempat-tempat suci, semuanya masuk dalam klasifikasi ini. Tidak salah dengan identifikasi seperti ini. Hanya perlu dilengkapi saja dengan sedikit sudut pandang yang berbeda. Firman Allah ﷻ:
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ﴿﴾أُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ ۖ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barang siapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh balasan di akhirat kecuali neraka. Dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” [QS. Hud/11: 15-16]
Perlu diketahui bahwa ciri utama kebahagiaan jenis ini, ia ditandai oleh keadaan berkejaran yang tiada henti, berumur pendek, menimbulkan kemelekatan kalau terpenuhi; bila tidak terpenuhi, kemudian menjadi hulu penderitaan. Allah, Sang Maha Pencipta, menjelaskan:
اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ ۖ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا ۖ وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ ۚ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
”Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di ahirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allâh serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu.” (QS. al-Hadîd:20).
Di kesempatan lain, Rasulullah ﷺ, melalui sahabat Abu Said Al-Khudriy ikut menyegarkan suasana dengan wasiatnya berikut ini.
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبيّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللَّهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا، فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا، وَاتَّقُوا النِّسَاءَ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بْنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاء
Dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda, “Sesungguhnya dunia ini manis dan indah. Dan sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menguasakan kepada kalian untuk mengelola apa yang ada di dalamnya, lalu Dia melihat bagaimana kalian berbuat. Oleh karena itu berhati-hatilah terhadap dunia dan wanita, karena fitnah yang pertama kali terjadi pada Bani Israil adalah karena wanita.” (HR Muslim)
Runtutan logikanya sederhana, ia diawali dengan keinginan yang minta selalu dipenuhi. Sekali dipenuhi, ia minta lagi dan lagi dalam kadar yang lebih tinggi. Tatkala keinginan yang semakin tinggi tidak terpenuhi, kemudian kecewa akibatnya. Ini yang menjelaskan mengapa banyak orang kaya menderita, yang berkuasa tambah menggila, manusia berwajah rupawan tidak bahagia, apalagi yang tidak rupawan tambah nelangsa. Menyadari bahwa terpenuhinya keinginan bukanlah wajah kebahagiaan yang bertahan lama, dan bahkan mudah terpeleset menjadi kecewa yang penuh derita, kemudian sejumlah pencari menggalinya ke dalam.
Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَوْ أَنَّ لاِبْنِ آدَمَ وَادِيًا مِنْ ذَهَبٍ أَحَبَّ أَنْ يَكُونَ لَهُ وَادِيَانِ ، وَلَنْ يَمْلأَ فَاهُ إِلاَّ التُّرَابُ ، وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ
“Seandainya seorang anak Adam memiliki satu lembah emas, tentu ia menginginkan dua lembah lainnya, dan sama sekai tidak akan memenuhi mulutnya (merasa puas) selain tanah (yaitu setelah mati) dan Allah menerima taubat orang-orang yang bertaubat.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 6439 dan Muslim no. 1048)
Siapa saja yang sudah lama menemukan betapa labilnya keinginan, lebih-lebih membuka rahasia betapa berbahayanya keinginan berlebihan, kemudian akan ditarik oleh wajah kebahagiaan yang lebih dalam. Kebahagiaan di tataran ini tidak lagi ditandai dengan mencari dan mengejar, melainkan ditandai dengan ”berhenti” dan “introspeksi”. Maksudnya, berhenti mencari dan berlari. Instrospeksi terhadap pemberian yang tak ternilai bersama kehadiran diri ini. Apa yang dicari dan dikejar segera bisa ditemukan di dalam dengan sebuah syarat sederhana, yakni berkecukupan. Dan apa yang diberikan Yang Kuasa lebih dari cukup untuk hidup dan kehidupan. Perhatikan firman indah berikut;
وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا إِنَّ اللَّهَ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ
“Dan jika kalian menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kalian tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS An-Nahl:18)
Ayat ini kemudian diperkuat lagi dengan riwayat dari Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ
“Sungguh sangat beruntung seorang yang masuk Islam, kemudian mendapatkan rizki yang secukupnya dan Allah menganugrahkan kepadanya sifat qana’ah (merasa cukup dan puas) dengan rezki yang Allah berikan kepadanya.” (HR: Muslim).
Ini semua membuka misteri, merasa berkecukupan itulah kekayaan yang agung. Lebih dari membuat bahagia, berkecukupan juga menjadi langkah penting menuju pencerahan. Dalam bahasa sederhana seorang Guru, enlightenment is closer to contentment rather than excitement. Pencerahan lebih dekat dengan berkecukupan dibandingkan dengan kesenangan berlebihan. Ini yang bisa menjelaskan mengapa orang-orang dengan kesyukuran mendalam mukanya tenang, bahasanya lembut, penampilannya halus. Sebabnya sederhana, sudah sangat berkecukupan. Allah berfirman:
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ () الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ طُوبَى لَهُمْ وَحُسْنُ مَآبٍ
“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. Orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik.” (QS Ar-Ra’du: 28-29)
Indahnya kebahagiaan dalam berkecukupan, seseorang kemudian bukan berhenti tumbuh, rasa berkecukupan yang mendalam kemudian membimbing orang-orang jenis ini memasuki gerbang kesempurnaan. Serangkaian wilayah yang tidak bisa dijelaskan, hanya bisa dirasakan. Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ ، فَرَّقَ اللهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ ، وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَـهُ ، وَمَنْ كَانَتِ الْآخِرَةُ نِيَّـتَهُ ، جَمَعَ اللهُ لَهُ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ غِنَاهُ فِـيْ قَلْبِهِ ، وَأَتَـتْهُ الدُّنْـيَا وَهِـيَ رَاغِمَـةٌ.
”Barang siapa tujuan hidupnya adalah dunia, maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya, menjadikan kefakiran di kedua pelupuk matanya, dan ia mendapat dunia menurut apa yang telah ditetapkan baginya. Dan barang siapa yang niat (tujuan) hidupnya adalah negeri Akhirat, Allah akan mengumpulkan urusannya, menjadikan kekayaan di hatinya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina.” [HR Ibnu Majah (no. 4.105).
Karena sifat kesempurnaan yang tidak bisa dijelaskanlah, kemudian orang-orang di tingkatan ini mengungkapkannya dengan bahasa-bahasa puitis yang indah. Jalaluddin Rumi adalah salah seorang yang sudah sampai di sini. Perhatikan salah satu puisinya: ”Hidup serupa tinggal di losmen. Tiap hari tamunya berganti. Dan siapa pun tamunya, jangan pernah lelah untuk tersenyum.” Bunda Teresa juga sudah sampai di sini, perhatikan salah satu warisannya: ”Bila mau berkontribusi pada kedamaian dunia, pulang sayangi keluarga.” YM Dalai Lama serupa. Perhatikan intisari ajaran pemenang hadiah Nobel ini: ”Yang terpenting, banyak menolong; bila tidak bisa menolong, cukup tidak menyakiti.” Sang Guru Bijak bahkan lebih lugas lagi menyikapi akan hal ini; ”berani tidak memendekkan umur, penakut tidak memanjangkan umur.”
Warisan orang-orang yang memasuki gerbang kesempurnaan hanya di sekitar ini: ”senyuman, cinta yang penuh kebajikan, menolong”. Kendati banyak menolong, orang-orang jenis ini tidak mengizinkan pertolongannya membuat mereka jadi congkak dan sombong. Terutama karena di tingkatan kesempurnaan terbuka rahasianya, yang memberi tidak ada, yang diberi tidak ada, proses pemberian juga tidak ada. Dalam bahasa lain yang sering kita dengar; hidup itu hanya sakdermo. Makhluk hanya perantara. Manusia hanya modal dengkul saja. Semuanya adalah tarian sempurna dari kesempurnaan yang sama. Sesampai di sini, baru seseorang bisa ”istirahat sempurna” dalam kebahagiaan. Allah Ta’ala berfirman,
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ لا يُتْبِعُونَ مَا أَنْفَقُوا مَنّاً وَلا أَذىً لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah:262)
Dalam sebuah pesan singkat, seorang sahabat berkenan mengirim tausiah indah dengan mengatakan; ”sakdermo, adalah kunci menuju gerbang kebahagiaan.”
Semoga kita bisa mengamalkan
Aamiin.
Alkhamdulillah..atas nasehatnya