Peristiwa apa saja yang singgah di benak Anda sepanjang tahun 2009 ini? Selain pemilu yang berjalan aman dan tenang, ada gempa dahsyat yang mengguncang Padang dan Tasikmalaya dan tentu skandal peradilan yang paling dominan. Ada kasus Prita Mulyasari, ada Kasus Bibit – Chandra yang dikenal dengan kriminalisasi, ada Antasari Azhar, ketua KPK, yang tersangkut kasus pembunuhan, ada kasus Bank Century yang tengah menggelinding dengan hak angket serta pansusnya dan peristiwa lain yang tentu tiap orang akan berbeda dalam mememory dan menyikapinya. Tergantung situasi dan kondisi bagaimana sebuah peristiwa bisa mempengaruhi jiwa seseorang. Juga tergantung pada diri kita, bagaimana kita merespon sebuah stimulus atau peristiwa. Seorang bijak pernah berkata, ”Peristiwanya sendiri tidak penting, yang penting adalah bagaimana kita merespon peristiwa tersebut.”
Suatu pagi di sebuah ruang kelas sebuah SD, dengan santai seorang guru bertanya pada murid-muridnya, ”Siapa yang sudah sarapan pagi ini?” Kira-kira tiga per empat dari 40 murid mengacungkan tangan. Guru itu kaget sebab di luar dugaannya. Kemudian ia bertanya kepada anak-anak yang tidak mengacungkan tangan, ”Mengapa kalian tidak sarapan?” Sebagian menjawab tak sempat karena sudah terlambat. Sebagian lagi mengatakan belum merasa lapar, ataupun tak menyukai sarapan yang disajikan. Semua memberikan jawaban senada kecuali satu anak. ”Karena,” jawabnya, ”Sekarang bukan giliran saya.”
”Bukan giliranmu?” tanya sang guru. ”Apa maksudmu?”
”Dalam keluarga kami ada empat anak,” ujarnya, ”Tapi, ayah tak punya cukup uang untuk membeli makanan supaya tiap orang bisa sarapan setiap hari. Kami harus bergiliran, dan hari ini bukan giliran saya.”
Bagaimana respon Anda setelah membaca cerita di atas? Biasa saja? Meneteskan air mata? Iba? Atau hanya bilang, “Ah, itukan hanya cerita. Tak perlu dipusingkan, yang penting saya tidak mengalaminya.” Terus terang, pertama kali saya membaca cerita itu, tak sadar merembes air mata saya. Cengeng, yah..mungkin ? Tapi, ada dua hal yang mengiringi perasaan saya waktu itu. Pertama rasa iba – trenyuh – kasihan terhadap nasib anak tersebut. Alangkah malangnya jika memang benar ada. Dan ternyata memang ada, walau entah dimana, bahkan di sekitar kita barangkali. Dan kedua rasa syukur, bahwa saya termasuk orang yang diberi nikmat Allah yang cukup, tidak mengalami hal itu. Hanya mendengar dan membaca saja. Tapi apakah yang akan kita perbuat dengan diri ini sebagai respon hal semacam itu? Cukupkah hanya dengan iba atau tetesan air mata? Ini yang lebih penting, sebelum semua terjadi dan terulang kembali, bahkan menimpa kita sendiri.
Cerita ini setidaknya bisa menjadi parameter awal sejauh mana kepekaan dan kepedulian hati kita terhadap lingkungan sekitar. Demikian juga dengan selaksa peristiwa yang sudah kita lalui di sepanjang tahun 2009 ini. Sudahkah itu menjadi bagian dari proses pengasahan kepekaan dan kepedulian hati kita, menjadi hati yang berkualitas? Mengetuk hati kita? Membuka hati kita untuk menjabarkan keimanan dalam bentuk kepedulian dan cinta – kasih yang nyata?
Salah satu cara praktis untuk mengembangkan kepekaan dan kepedulian adalah dengan menyadari akan penderitaan. Orang bilang, ada hikmah dibalik setiap mushibah atau penderitaan. Tidak cukup hanya dengan istirja dan doa saja. Sadar akan penderitaan — entah itu penderitaan kita sendiri atau penderitaan orang lain — akan membuat hati kita melunak dan terbuka. Dengan adanya energi kesadaran yang keluar dari hati, maka ada energi unggulan yang masuk yaitu benih – benih kepekaan dan kepedulian.
Kepekaan dan kepedulian adalah buah dari cinta. Ia cerminan samudra luas hati nurani. Orang – orang yang bisa mencintai diri sendiri, kemudian orang – orang terdekatnya akan mempunyai kepekaan dan kepedulian yang baik terhadap sekitarnya. Bagi yang belum sadar, mulailah perhatikan sekeliling dengan seksama. Bukankah orang tua Anda adalah orang yang rela mengorbankan hidupnya bagi Anda? Bukankah pasangan Anda adalah orang yang telah memilih menyerahkan hidupnya kepada Anda? Bukankah anak-anak Anda sangat mengagumi Anda dan merindukan kebersamaan dengan Anda? Bukankah pembantu Anda adalah orang yang mengabdikan hidupnya untuk melayani Anda? Teruslah perluas dengan mengamati orang-orang di sekitar Anda. Mereka semua memiliki penderitaan dan tantangan masing-masing. Namun mereka begitu perhatian dan sayang terhadap Anda. Setelah banyak menerima, kenapa begitu sulit untuk berbagi? Begitu banyak yang kita dapatkan, kenapa masih merasa segan untuk memberi?
Gerakan sejuta orang pendukung Bibit – Chandra, koin keadilan untuk Prita, sumbangan korban gempa adalah sebuah bukti nyata kepekaan dan kepedulian. Tempat – tempat latihan kepekaan. Seorang bijak pernah mengatakan, ”Ketika kamu melihat dirimu tidak berbeda dari orang lain, ketika kamu merasakan apa yang mereka rasakan, lalu siapa yang bisa kamu sakiti?” Bukan hanya siapa yang bisa disakiti, tapi kita justru merasakan ketika mereka sakit. Menuju kaljasadil wahid. Dan akhirnya, yang ada hanya kebaikan dan kebaikan. Hidup penuh kesyukuran. Ukuran kepedulian dan kepekaan adalah pemberian, sekecil apapun bentuknya. Keberhasilannya ditentukan oleh seberapa besar cinta kasih yang kita sertakan dalam pemberian itu. Meminjam kata – kata bijak dalam memoar pemenang Nobel Perdamaian asal Índia, ”Yang penting bukan seberapa besar yang kita perbuat, melainkan seberapa besar cinta kasih yang kita sertakan dalam perbuatan kita. Dalam hadist yang diriwayatkan Aisyah, Nabi SAW ditanya, “Amalan apakah yang lebih dicintai Allah?” Nabi SAW menerangkan yaitu kekalnya amalan walaupun sedikit. (Rowahu Ibnu Majah) Dalam hal ini tersirat bahwa dalam menjalankan ibadah dengan tingkat rutin &/ kekal, pasti disertai totalitas diri dan rasa senang – cinta yang besar yang selalu menyertai dalam setiap mengerjakan amalan itu. Non sense, tanpa rasa senang dan cinta bisa mencapai tingkat kekekalan seperti itu.
Menilik serangkaian peristiwa sepanjang tahun 2009 ini dan membidik apa yang bisa kita perbuat ke depan, sebagai refleksi di akhir tahun ini, rasa – rasanya aras kepedulian dan kepekaan kita terhadap sekitar, sebagai pengejawantahan keimanan, perlu segera ditumbuh – kembangkan dan dipupuk terus keberadaannya. Tak lain untuk meningkatkan kualitas hati, membuka hati agar menjadi an-naqiyyu at-taqiyyu, yang bersih, jernih, berisi penuh cinta – kasih dan luber kesyukuran. Dimana siangnya mencurahkan kepedulian dan kasih sayang kepada sesama, sedangkan malamnya berduaan dengan Yang Kuasa. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Salam ra., Rasulullah SAW bersabda:”Wahai manusia! Sebarkanlah salam, berilah makanan, sambunglah family dan shalatlah ketika manusia lain tengah tertidur; niscaya kamu akan masuk surga dengan selamat.” (Rowahu at – Tirmidzi).
Begitu indah dan dahsyat bukan hadits di atas? Salah satu jalannya adalah dengan membuka lebar hati.
Oleh:Ustadz.Faizunal Abdillah