Saya juga bingung, kenapa saya menghadap ke Utara ya? Padahal, katanya kan, saya dibangun dalam rangka memperingati pembebasan Irian Barat. Irian Barat kan di Timur. Saya dibuat seakan-akan mau menggapai sesuatu, sesuatu yang saya juga gak paham betul apa itu. Ah, gak papa, banyak juga kok orang yang gak paham betul apa yang dia mau kejar, jadi saya gak malu-malu amat.
Sudah puluhan tahun saya di sini, di Pancoran, dengan posisi yang beginiiii aja dari dulu. Dulu dan sekarang keadaannya lumayan beda. Yang jelas sekarang lebih panas! Panas dalam makna sebenarnya dan lebih sebenarnya. Beberapa bulan lalu, gubernur sini pernah nyindir-nyindir pengguna rok mini yang ada indikasi meningkatkan kriminalitas, you know lah what kind of criminal it is. Ini yang saya maksud panas dalam makna yang lebih sebenarnya.
Gak mau kalah, beberapa hari kemudian, semacam komunitas kecil pecinta rok mini yang tiba-tiba terbentuk (jangan heran, di kota saya ini banyak yang bisa tiba-tiba terbentuk, dibentuk pagi, dibubarin sore) bikin aksi di Bundaran HI, intinya mereka bilang, “Jangan salahin yang pake rok mini dong, salahin yang melototin.” Nah loh!
Satu cerita lagi. Di kota saya ini, ada koran merah yang ngomongin, kalau gak copet dipukulin massa ya perempuan diperkosa di tengah jalan. Gak jauh-jauh dari itu deh. Judulnya bombastis dan selalu “lebih banyak” dari isinya. Suatu waktu Pemrednya ditanya, kok ngajarin masyarakat hal-hal yang gak berbobot sih? Pemaparan macam begitu kan malah memancing kriminalitas! Si pemred jawab, mana buktinya koran saya meningkatkan kriminalitas? Apa pernah ada yang neliti? Mana, saya mau lihat -FYI, berita kriminal dan seks selalu punya tempat di masyarakat, market talks.
Memang ya, sebagian orang itu butuh bukti nyata kelihatan dulu, yang itu harus logis, baru mereka mau percaya.
Saya makin percaya bahwa orang pintar itu bisa membela apa saja.
Saya bingung deh, ini yang salah jadinya siapa sih? Si yang pake rok mini dan si koran merah, apa si yang melototin dan yang baca koran merah, apa salah semua? Cara mikirnya berdasarkan apa sih? Kita mau ambil sudut pandang mana? Sudut pandang hukum (sakit-sakitan) Belanda? Atau sudut pandang apa? Kalau kata Syekh Khalid Yasin, “If you don’t have a people that is governed by Sharia, then you have a lawless people.”
Do you agree with him? Do WE agree with him?
Ahh, gak usah dipikirin kelewat kemampuan, nanti stres malah gak bisa berkarya loh. Kalau pegel mikir, coba ikuti gerakan saya. Tangan kanan dijulurkan sejauh-jauhnya ke depan, kaki kiri di depan. Tariiiik!
Kalau ada yang berhak untuk stress, itu saya. Dari atas sini, segala sesuatu jadi terlihat sangat jelas. Bisa melihat dengan sangat jelas itu ada tantangannya sendiri loh… =)
Gini deh, mulai aja dari sesuatu yang bisa kita mulai. Sekarang kan zamannya dakwah bil hal. Bukan cuma lip service. Nanti kita bisa lihat, karakter siapa atau karakter apa yang lebih kuat, lebih jelas, lebih berwibawa, lebih toleran, dan lebih dirindukan keidealannya oleh masyarakat.
Saya juga bingung, kenapa saya menghadap ke Utara ya? Padahal, katanya kan, saya dibangun dalam rangka memperingati pembebasan Irian Barat. Irian Barat kan di Timur. Saya dibuat seakan-akan mau menggapai sesuatu, sesuatu yang saya juga gak paham betul apa itu. Ah, gak papa, banyak juga kok orang yang gak paham betul apa yang dia mau kejar, jadi saya gak malu-malu amat.
Sudah puluhan tahun saya di sini, di Pancoran, dengan posisi yang beginiiii aja dari dulu. Dulu dan sekarang keadaannya lumayan beda. Yang jelas sekarang lebih panas! Panas dalam makna sebenarnya dan lebih sebenarnya. Beberapa bulan lalu, gubernur sini pernah nyindir-nyindir pengguna rok mini yang ada indikasi meningkatkan kriminalitas, you know lah what kind of criminal it is. Ini yang saya maksud panas dalam makna yang lebih sebenarnya.
Gak mau kalah, beberapa hari kemudian, semacam komunitas kecil pecinta rok mini yang tiba-tiba terbentuk (jangan heran, di kota saya ini banyak yang bisa tiba-tiba terbentuk, dibentuk pagi, dibubarin sore) bikin aksi di Bundaran HI, intinya mereka bilang, “Jangan salahin yang pake rok mini dong, salahin yang melototin.” Nah loh!
Satu cerita lagi. Di kota saya ini, ada koran merah yang ngomongin, kalau gak copet dipukulin massa ya perempuan diperkosa di tengah jalan. Gak jauh-jauh dari itu deh. Judulnya bombastis dan selalu “lebih banyak” dari isinya. Suatu waktu Pemrednya ditanya, kok ngajarin masyarakat hal-hal yang gak berbobot sih? Pemaparan macam begitu kan malah memancing kriminalitas! Si pemred jawab, mana buktinya koran saya meningkatkan kriminalitas? Apa pernah ada yang neliti? Mana, saya mau lihat -FYI, berita kriminal dan seks selalu punya tempat di masyarakat, market talks.
Memang ya, sebagian orang itu butuh bukti nyata kelihatan dulu, yang itu harus logis, baru mereka mau percaya.
Saya makin percaya bahwa orang pintar itu bisa membela apa saja.
Saya bingung deh, ini yang salah jadinya siapa sih? Si yang pake rok mini dan si koran merah, apa si yang melototin dan yang baca koran merah, apa salah semua? Cara mikirnya berdasarkan apa sih? Kita mau ambil sudut pandang mana? Sudut pandang hukum (sakit-sakitan) Belanda? Atau sudut pandang apa? Kalau kata Syekh Khalid Yasin, “If you don’t have a people that is governed by Sharia, then you have a lawless people.”
Do you agree with him? Do WE agree with him?
Ahh, gak usah dipikirin kelewat kemampuan, nanti stres malah gak bisa berkarya loh. Kalau pegel mikir, coba ikuti gerakan saya. Tangan kanan dijulurkan sejauh-jauhnya ke depan, kaki kiri di depan. Tariiiik!
Kalau ada yang berhak untuk stress, itu saya. Dari atas sini, segala sesuatu jadi terlihat sangat jelas. Bisa melihat dengan sangat jelas itu ada tantangannya sendiri loh… =)
Gini deh, mulai aja dari sesuatu yang bisa kita mulai. Sekarang kan zamannya dakwah bil hal. Bukan cuma lip service. Nanti kita bisa lihat, karakter siapa atau karakter apa yang lebih kuat, lebih jelas, lebih berwibawa, lebih toleran, dan lebih dirindukan keidealannya oleh masyarakat.
Oleh : Muhammda Iqbal