Muslim di Indonesia memiliki potensi yang tinggi. Hanya saja saat ini, Islam di Indonesia sedang tercerai-berai. Penyumbat potensi ini muncul dari dua arah: dari dalam berupa penyimpangan aqidah dan upaya mengubah kerangka berpikir yang Islami. Tantangan dari luar lantaran bangsa ini makin dalam terjerumus dalam dekadensi moral.
Jauh hari Imam Al Ghazali telah memperingatkan, ada ulama yang berbicara dengan hujjah Yahudi dan Nasrani. Mereka tidak berbicara dengan ilmu Rasulullah SAW. Akibatnya mereka tak lagi memiliki aura atau cahaya ulama. Merekalah nanti yang akan mengendap di neraka. Analoginya, ahli ibadah sebagaimana halnya bintang yang bersinar. Ulama sebagaimana bulan yang bersinar. Tapi ulama tak seperti ahli ibadah, dia tak memiliki cahaya sendiri. Cahayanya adalah pantulan dari cahaya Rasulullah SAW. Bila dia tak lagi menggunakah ilmu Rasulullah, padamlah cahayanya, sebagaimana bula yang mengalami proses gerhana. Saat ini terbilang banyak ulama yang gerhana.
Untuk itu umat Islam harus eberbicara dengan ilmu Rasulullah SAW, agar tidak meyimpang dan tetap dalam khittah Islam – yakni cara berpikir dan berbuat dengan jalan Islam. Moralitas yang kian merosot menjadi tambahan penghambat potensi. Bangsa Indonesia hari ini eterus menghadapi kuatnya desakan perusakan moral bangsa. Dalam kondisi tercerai berai dihantam pula hambatan-hambatan itu, umat Islam menjadi lemah bahkan dilemahkan.
Kelemahan inilah yang menjadikan objek globalisasi yang bergerak massif. Globalisasi yang menerpa Indonesia bukan yang berarti positif, namun berbentuk westernisasi yang mengarah sekulerisasi yang berarti jahiliyahisasi. Kita dijahiliyahkan. Jahiliyah memang selalu dating dan pergi. Bila suatu kaum menjadi jahiliyah, biasanya Allah seegera mengutus nabi, begitu seterusnya. Ketika Nabi Muhamad sebagai Nabi penghabisan wafat, maka jahiliyah dating lagi dalam rupa yang baru: globalisasi.
Sekulerisasi menuduh ajaran Islam yang melarang muslimah dilarang menikah dengan non muslim dianggap melanggar prinsip anti demokrasi. Zaman globalisasi ini membuat Islam menjadi lemah, menjadi objek (maf’ulbih) Globalisasi. Padahal, dahulu umat Islamlah yang menjadi subjek (fa’ulbih) globalisasi. Pada zaman Khalifah Abasiyah, globalisasi adalah islamisasi. Saat itu Islam menyebar ke mana-mana hingga Indonesia. Umat Islam adalah umat terkuat di dunia. Hingga akhirnya menjadi merosot, sebagai objek yang terus menjadi sasasaran, lalu menjadi lemah dan dilemahkan.
Globalisasi di bidang ekonomi semestinya dihadapi umat Islam dengan pemberdayaan ekonomi dan pendidikan. MUI mengupayakan mengembangkan ekonomi syariah dalam bentuk perbankan syariah, penjaminan syariah, asuransi syariah, dan penggadaian syariah. Hingga saat ini telah ada 22 bank yang menggunakan system syariah. Bahkan pada 1998 telah ada UU No. 10 yang mengatur perbankan dengan dual bank system. Sayangnya meski telah memiliki payung hukum, pangsa pasar system perbankan ini hanya 1,5 juta orang atau sekitar 15 persen dari jumlah penduduk Indonesia.
Inilah bukti umat Islam masih menyukai sistem ribawi, padahal inilah sistem jahiliyah. DR Yusuf Alqardawi menyebutnya jahiliyah lantaran riba adalah hutang yang ditangguhkan dengan pembayaran tambahan, yang diperjanjikan di muka. Maka bila ada yang berpendapat, riba itu haram tapi bunganya halal aedalah pendapat yang salah. Justru bunga itulah riba. DR Yusuf Alqardawi berpendapat yang haram inilah justru menjadi kesepakatan internasional.
Namun tren ini perlahan mulai berubah. Potensi ekonomi syariah mulai menjadi potensi ekonomi global. Malah pemerintah Singapura mulai menerapkannya lantaran dapat dukungan dari perbankan di Timur Tengah. Pemerintah Korea Selatan malah meminta Dewan Syariah Nasional memberikan masukan. Mereka telah menerbitkan surat utang negara yang dikelola secara syariah. Nah orang Korea Selatan saja mulai menerapkan ekonomi syariah, mengapa Ali dan Muhamad yang Indonesia dan islam pula lebih menyukai sistem riba.
Inilah yang harus dilakukan para penggembala atas gembalaannya, yang bertujuan untuk menyelamatkan umat dengan memberdayakan (harakatuljifa walkhimayah), sekaligus sebagai gerakan (harakatul ataqawiyah) berupa penyelamatan, perlindungan, dan penangkalan. Masalahnya, umat Islam Indonesia hari ini lebih asik saling berbagi pukulan. Mereka lupa, agar tak saling bercerai berai dan saling pukul perlu menyamakan metode berpikir (manhajulfikr) dan metode gerakan (manhajulharakah). MUI tidak melakukan penyatuan metode berpikir (mansiyatul manhaj), karena dalam agama Islam memang ada perbedaan, ini akibat logis adanya ijtihad. Tak heran bila ada Indonesia terdiri dari berbagai mahzab. Perbedaan asal masih dalam Islam (sesuai sunah Rasul dan para sahabat) selalu dapat ditolelir, tapi penyimpangan (di luar sunah Rasul dan parea sahabat) tak pernah bisa ditenggang.
Dalam situasi perbedaan tidak boleh terdapat pemikiran ego kelompok – yang menyatakan hanya dirinya saja yang benar. Tapi harus ada ruang untuk menerima pendapat orang lain. Prinsip menghormati perbedaan inilah yang harus dibangun. Dengan jalan pengakuan, bahwa mungkin saja mahzab saya benar tapi mengandung kesalahan, dan mahzab anda menurut saya salah tapi mengandung kebenaran. Alhasil perbedaan dalam weilayah Islam (ikhtilaf) masih dapat ditolelir. Di luar wilayah itu, penyimpangan harus diamputasi. Bila saat ini mereka yang menyimpang berniat kembali, saya yang akan menjemputnya.
Untuk itulah MUI didirikan, agar ada yang mengkoordinasi, sikronisasi, dan sinergi perbedaan-perbedaan itu. Agar tidak terjadi benturan yang mengakibatkan umat tercerai berai dan kontraprodukif. Malah umat Islam bisa tekor. Bila penyamaan ini berhasil tentu menghasilkan kemaslahatan.
Dahulu, koordinasi ini dilimpahkan kepada Bung Karno, sebagai waliyulamri. Walaupun Bung Karno tidak memiliki keseluruhan syarat senagai imamah – ada 14 syarat menjadi imam sebagaimana digariskan ulama ahli hadits. Lalu lahirlah banyak pemberontakan yang menganggap Bung Karno bukan pemimpin yang sah. Inilah yang membuat para ulama berkesimpulan Bung Karno tetap syah sebagai imamah darurot. Artinya sebagai koordinator alias imamah dia syah, tapi dalam kondisi darurat. Lantaran tak ada yang merasa pas menjadi imamah. Akhirnya para ulama lebih mementingkan bahayanya tidak ada pemerintahan, yang dapat melahirkan anarkisme.
Kemudian hari, para ulama mencari waliyulamri namun tak ada yang memenuhi syarat. Lalu dibentuklah MUI sebagai imamah instusionaliyah sebagai ijtihad ulama di Indonesia. Imamah inilah yang memimpin lembaga ormas Islam lainnya, sebagai imamah kelembagaan. MUI semacam tenda besar yang memayungi seluruh umat. Berbegai perbedaan dan kepentingan disinergikan, yang jinak digalakkan dan yang galak dijinakkan. Ini yang membuat mereka menjadi disegani.
Dengan adanya koordinator, umat Islam tak mudah diprovokasi hingga mudah marah, merusak, dan melempar. Sebagaimana Zidane diprovokasi Materrazi, yang membuat Prancis kalah dari Italia pada Piala Dunia 2006. Ternyata main bola memang tak cukup bisa menendang tapi juga memprovokasi. Itulah analogi dunia politik.
Agama memang perlu dijaga politik. Tapi agama butuh politik sebagai masuliyah diniyah islamiyah (taggung jawab keagamaan dan keislaman). Untuk menjaga agar kenegaraan tak berebenturan dengan keagamaan. Konsep ini tak menghendaki agama menjadi perundangan. Lalu politik sebagai masuliyah umatiyah (tanggung jawab keuamatan), agar kebutuhan umat terlayani dan masih dalam koridor Islam. Sebab menurut Imam Al Ghazali, ada tiga kebutuhan umat yang harus dilayani : asasiyah (primer) ini belum terpenuhi karena kemiskinan ada di mana-mana, haniyah (sekunder), taksiniyah (kebutuhan pelengkap). Pemenuhan kebutuhan ini hanya bisa terlaksana bila ada reformasi birokrasi (birocratic reform). Politik bagi umat Islam berarti pula masuliyah watoniyah (tanggung jawab kebangsaan kenegaraan).
Masuliyah watoniyah itu selesai ketika lahir dekrit presiden 1959, tak ada lagi konsep Negara Islam atau piagam Jakarta, yang ada hanya keislaman. Tapi, saat ini ada upaya mengubah nation state yang religius menjadi nation state yang sekuler. Umat Islam tidak membutuhkan sekulerisasi kebangsaan dan sekulerisasi nasionalisme ataupun fundamentalisme sekuler, untuk menyatukan perbedaan dalam umat Islam. Seharusnya muslim nasionalis harus bergabung dengan nasionalis muslim melalui lembaga politik.Dengan demikian pemberdayaan politik Islam dapat dibangun. Agar umat Islam menjadi satu bangunan yang satu saling menguatkan satu sama lain (kalbunya yasudu baghduhum bagdho). LDII punya peran penting dalam posisi ketika umat Islam melakukan aksi melalui pemberdayaan ekonomi, pendidikan, dan bahkan politik.
Opini ini disusun dari pembekalan dari KH Maruf Amin, Ketua Komisi Fatwa MUI, pada Rakernas LDII 2007