MAKAH- Jamaah haji asal Kabupaten Kudus dan Rembang yang tergabung dalam Kloter SOC 68 tidur berjejalan di kamar hotel. Satu kamar yang seharusnya dihuni maksimal oleh enam orang, dipaksakan diisi sembilan. Akibatnya, sebagian jamaah terpaksa tidur dengan kaki menekuk. Seluruh barang bawaan mereka juga tidak bisa ditaruh di kamar karena dikhawatirkan memakan tempat. Koper dan tas-tas pun diletakkan di lorong-lorong hotel.
”Kalau tidur kakinya harus ditekuk. Jika tidak begitu bisa kena kepala teman,” ujar Mashud, ketua rombongan, kepada Tim Pengawas Haji dari DPR RI yang pada Senin (22/10) petang mengunjungi pemondokan mereka.
Para jamaah ini menginap di Pemondokan (Hotel) 817 di kawasan Misfalah, Makah. Hotel 817 terdiri atas 14 lantai dan ditempati bersama-sama oleh jamaah asal Kudus, Rembang (Jateng), serta Kabupaten Pacitan, Jombang, Nganjuk, dan Madiun (Jatim). Empat anggota Tim Pengawas Haji dari Komisi VIII DPR, yakni KH Busro Suhud (Golkar), Soemintarsih Muntoro (Hanura), Muhammad Baghowi (Demokrat), dan Ahmad Rozak Rais (PAN), yang meninjau lokasi tersebut menyatakan sangat prihatin. DPR akan meminta penjelasan terkait masalah itu ke Kementerian Agama.
”Ini pelanggaran serius. Dalam klausul kontrak antara Kemenag dengan pihak Arab Saudi yang diberitahukan ke DPR jelas disebutkan, setiap jamaah dialokasikan tempat menginap berukuran 4 m2 atau 1 x 4m. Itu artinya, kamar berukuran 4×6 m atau 24m2 maksimal hanya boleh dihuni enam orang,” kata Busro Suhud. Namun ketika meninjau Hotel 817, semua kamar dihuni melebihi kapasitas. Ada yang delapan, ada yang sembilan. Itu artinya, setiap kamar diisi 25% lebih banyak dari kapasitas seharusnya.
Muhammad Baghowi mengatakan, selama 21 hari di Makah, setiap jamaah membayar uang sewa pemondokan sebesar 4.300 riyal (sekitar Rp 10,75 juta). Jika satu kamar yang semestinya dihuni enam orang ternyata diisi sampai sembilan, maka ada dana 12.900 riyal yang patut dipertanyakan penggunaannya.
”Kontrak sewa pemondokan itu bunyinya jelas, satu jamaah membayar 4.300 untuk ukuran 1×4 meter. Jika ukuran kamar 6×4, maka isinya harus hanya enam jamaah, bukan delapan atau sembilan seperti ini,” tandas Baghowi.
Baghowi menilai, ada potensi kerugian 25% dari harga yang dibayarkan oleh jamaah melalui biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH). Potensi kerugian itu muncul dari penumpukan jamaah dalam satu kamar, dari seharusnya mendapat tempat seukuran 1×4 meter, ternyata hanya 1×3 meter.
”Tahun ini, ongkos sewa pemondokan yang dialokasikan dari dana haji mencapai Rp 2 triliun. Jika dalam praktiknya terjadi penumpukan jamaah seperti itu, ada potensi kerugian sampai Rp 500 miliar.
Penumpukan jamaah itu bukan saja merugikan dari sisi keuangan, namun juga menimbulkan ketidaknyamanan. Jamaah harus menaruh barang berharga di luar kamar. Antre kamar mandi lebih lama, air cepat habis, dan pemakaian lift untuk naik-turun lantai sangat padat. Ketika meninjau lantai sembilan kemarin, rombongan DPR harus antre lift lebih dari 45 untuk hanya untuk bisa kembali ke lantai satu. ”Ini efek dari overcapacity tadi. Kami akan mempertanyakan ini ke Kementerian Agama,” tegas Busro.
Terpisah, Kepala Misi Haji Indonesia Daerah Kerja Makah, Arsyad Hidayat, mengakui, memang banyak kamar yang jumlah penghuninya melebihi kapasitas. Namun jumlah penghuni itu sesuai dengan tasrikh yang dibuat oleh pihak Arab Saudi. Tasrikh adalah aturan tentang kapasitas sebuah hotel yang dibuat oleh pemerintah Arab Saudi. ”Kita menempatkan jamaah sesuai tasrikh. Kalau tasrikh menyebutkan Hotel A untuk 500 jamaah, ya kita isi 500. Kalau hanya kita isi 400, rugi. Kan berarti ada 100 jamaah yang harus ke hotel lain. Padahal biaya yang kita bayarkan ke pihak hotel harus sesuai dengan tasrikh yang dikeluarkan pemerintah Saudi,” jelas Arsyad. Dia mengakui, ada jamaah yang terpaksa tidur di kamar melebihi kapasitas alias harus berdesak-desakan.
(Dep. KIM DPP LDII)
Sumber Gambar : republika.co.id