Ketua DPP LDII sekaligus Ketua DPW LDII DKI Jakarta Teddy Suratmadji, diuji dalam sidang terbuka Pascasarjana Universitas Nasional untuk memperoleh gelar doktoral. Sidang terbuka tersebut diadakan di gedung Menara Unas Pasar Minggu (13/2).
Disertasinya yang berjudul “Kebijakan Pemerintah dalam Pengendalian Perubahan Iklim dengan Skema REDD+ Studi Kasus Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Riau”, diuji oleh Prof. Dr. Herman Hidayat, Dr. Fachrudin M. Mangunjaya, Dr Syarif Hidayat, Prof. Dr. Maswadi Rauf, dan DR. Massa TB Djafar.
Dalam uji disertasi itu, Teddy yang juga anggota Litbang MUI DKI Jakarta itu memaparkan upaya negara-negara dunia untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Dimulai ketika Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) merilis laporan pertama kali tentang perubahan iklim. Lalu disusul Konferensi Tingkat Tinggi (Bumi) Bumi Rio de Janiero pada 1992 dan penandatangan Protocol Kyoto pada 1997.
Menurt Teddy, Indonesia baru meratifikasi Protokol Kyoto tujuh tahun setelahnya hingga terbentuk Undang-Undang No 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Protokol Kyoto. Luasnya hutan tropis yang dimiliki Indonesia sebagai paru-paru dunia, menjadi perhatian negara-negara lain. Indonesia Aktif dalam upaya-upaya perubahan iklim.
Saat pemerintahan Presiden SBY pada tahun 2010, Indonesia berkominten mengurangi GRK sebanyak 26 persen dan 41 persen jika dibantu donor dari luar. Lewat skema REDD+ Indonesia mendapat donor US$1 miliar dari Norwegia. Namun demikian, upaya pengurangan GRK tidak berjalan dengan baik.
Beberapa bencana besar, salah satunya yang diteliti oleh Teddy adalah bencana Kebakaran Hutan dan Lahan di Riau. Dalam penelitiannya, Teddy Suratmadji menemukan beberapa fakta menarik yang ia teliti dari tahun 1990 hingga era Presiden Jokowi. Pertama kurangnya kehendak politik yang kuat baik di hulu dan di hilir pada level provinsi.
“Kontribusi Karhutla 2015, keterlibatan dua perusahaan besar sangat berkontribusi besar terhadap kejahatan lingkungan. Ilegal Logging untuk konsumsi pabrik pulp menyebabkan penebangan dihutan lindung dan hutan produksi. Dua gubernur masuk penjara. Kerusakan lingkungan dan sosial ekonomi mencapai 687 triliun rupiah,” ujarnya.
Ia juga menambahkan, adanya birokrat pencari rente turut menambah penderitaan rakyat Riau. Sebanyak 1,3 juta hektar lahan hutan dibuat menjadi non hutan. Lahan-lahan tersebut banyak yang bersinggungan dengan masyarakat dan banyak masyarakat yang dikriminalisasi.
“Karhutla adalah kejahatan lingkungan yang berbahaya. Konspirasi yang dilakukan perusahaan besar dan birokrat berkenaan dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) serta Konflik lahan antara rakyat dengan pengusaha lokal. Semua bermuara pada kepentingan antara pengusaha dan birokrat yang memberikan ijin yang tidak profesional,” ujarnya.
Kehancuran hutan di Provinsi Riau karena keluarnya perizinan dengan cara yang illegal. Izin yang dikeluarkan belasan tahun lalu oleh birokrat menjelang masa habisnya jabatan, wajar jika oknum pejabat mendapat julukan pencari rente.
Oleh karena itu, Ada tiga industri memicu perambahan hutan, yaitu Industry Pertanian berskala besar termasuk kelapa sawit, indsutri pertambangan, dan industru kayu. Ketiganya membutuhkan lahan yang luas untuk berkembang. Perizinan menjadi lahan basah bagi para pencari rente.
Kesulitan mengendalikan Karhutla juga disebabkan komunitas petani dan pengusaha yang membuka lahan dengan membakar hutan. Cara ini menjadi pilihan rasional, sebab jika tidak membuka lahan mereka tidak akan menanam. Sementara membakar lahan adalah cara yang paling murah.
“Lahan yang tidak terbatas dan tidak terjaga juga membuat pola pikir masyarakat tidak memikirkan lahan akan hancur atau tidak. Yang mereka pikirkan, jika lahan tidak dirambah maka akan ada orang lain yang merambah, “ Teddy menambahkan.