Saya ingin membahas mengenai sebuah pertanyaan yang simple, namun dapat menandakan tingkat kemakmuran negara kita.
“Apa bedanya sarjana Indonesia dengan sarjana Singapore ?”
Jawabnya adalah ;
“Sarjana Indonesia, begitu lulus kuliah akan bertanya, saya mau kerja apa ya ?”
“Tapi, kalau sarjana Singapore, begitu lulus kuliah bertanya, saya mau bisnis apa ya ?”
Itulah sepenggal cerita yang mau tidak mau, suka atau tidak suka memang menjadi suatu realita pola pikir para sarjana kita. Pertanyaan semacam itu, seolah mendapat dukungan kuat dari data statistik, yang menunjukkan bahwa jumlah pengusaha di Indonesia baru mencapai 0,2% dari jumlah penduduknya, yaitu hanya 500.000 orang. Sementara suatu negara akan memiliki pondasi perekonomian yang kuat dan akan memenuhi persyaratan awal untuk menjadi negara maju, jika memiliki jumlah pengusaha sebanyak minimal 2% dari jumlah penduduknya.
Bandingkanlah dengan tetangga kita, Malaysia yang telah memiliki pengusaha sebesar 3%, Singapura 7%, China 10%, apalagi negara adidaya, Amerika Serikat, memiliki jumlah pengusaha tertinggi, yaitu 12,5% dari jumlah penduduknya.
Lalu cobalah kita perhatikan, jika ada suatu seminar atau pameran entrepreneurship yang diadakan di suatu tempat, walaupun sudah dipromosikan dengan gencar, namun biasanya akan mendapat antusiasme yang relatif ‘dingin’ dari para pengunjungnya, walaupun tidak semua tempat pameran sepi pengunjung. Namun apa yang terjadi jika ada suatu event Job Fair, atau pameran ajang pembukaan lowongan kerja ??? Wah, tanpa dikomando, tanpa digembar – gemborkan, pesertanya bisa dipastikan akan selalu membludak, penuh sesak, saling berebut untuk melamar pekerjaan.
Ya, memang mayoritas penduduk kita, lebih merasa aman dan nyaman dengan bercita – cita menjadi seorang karyawan. Lalu apakah itu salah ? Jelas tidak ada yang salah dalam suatu pilihan hidup, itu semua adalah hak individu yang mesti dihargai. Menjadi seorang karyawan yang baik dan berakhlakul kharimahpun merupakan suatu pilihan mulia. Namun jika kita berbicara mengenai konteks, bagaimana meningkatkan kemandirian dalam perekonomian bangsa Indonesia, maka penggalakkan program entrepreneurship adalah satu – satunya solusi yang dapat menjawab permasalahan bangsa ini.
Menurut data statistik 2011, jumlah sarjana yang menganggur lebih dari 2.000.000 orang. Coba bayangkan, jika 10% saja dari jumlah mereka, yaitu sebanyak 200.000 orang menjadi entrepereneur dengan membuka suatu bisnis, maka jika diambil rata – rata 1 orang bisa membuka 2 lapangan kerja, maka sudah bisa membuka 400.000 lapangan kerja baru. Bagaimana kalau lebih dari 10% sarjana yang menjadi entrepreneur ? Wah, maka pemerintah tidak perlu repot – repot memikirkan nasib 10 juta pengangguran di Indonesia ini.
Oleh sebab itu, untuk meningkatkan geliat entrepreneurship di Indonesia, diperlukan dukungan banyak pihak, baik pemerintah, yang bisa melakukan penyegaran materi entreperenurship di kurikulum bangku sekolah dasar hingga kuliah, mempermudah akses pasar, permodalan, pelatihan, dan pendampingan usaha. Lalu peranan orang tua juga sangat penting, dalam memberikan arahan dan support kepada putra – putrinya, untuk bisa menjadi seorang entrepreneur. Karena justru biasanya orang tualah yang terkadang “menghalangi” niat sang anak untuk berwirausaha, mereka akan lebih “bangga” jika putera – puterinya menjadi karyawan yang mendapatkan penghasilan tetap dan tunjangan di hari tua.
Ya, maka mulai sekarang, mari bersama kita tingkatkan cita – cita luhur dalam hidup kita, dari hanya sekadar “ingin hidup dengan aman” menjadi “ingin hidup dengan memberi manfaat bagi banyak orang dan lingkungan”. Marilah kita dukung bersama, gerakan entrepreneurship bagi keluarga dan bangsa kita, demi masa depan Indonesia yang lebih baik.
Oleh : Ir. Hamry Gusman Zakaria, MM