Apakah ada praktik spiritual yang sederhana tapi mendalam? Tersenyum adalah jawabnya. Terutama karena senyuman jauh lebih dalam dari sekadar dua bibir lentur, melengkung, mengembang. Tatkala seseorang tersenyum, cengkraman pikiran yang penuh penghakiman melonggar, wajah relaksasi, dan pada saat yang sama hati di dalam belajar mekar. Sebagai akibatnya, senyuman tidak saja mengirim vibrasi kedamaian ke luar, juga mengirim aura kesembuhan ke dalam. Tatkala tersenyum, sesungguhnya seseorang sedang membentuk bibir jadi seindah bunga.
Apakah ada obat kesembuhan jiwa yang sederhana tapi mendalam? Jawabnya; dekaplah hidup Anda apa adanya. Sebagaimana kerap disampaikan, semua putaran kehidupan baik nasib buruk maupun nasib baik, yang menjengkelkan maupun yang menyenangkan adalah tarian kesempurnaan yang sama. Tak bisa dipisahkan satu dengan yang lain. Semuanya pasti datang bergantian. Pikiran manusia saja yang terlalu kecil kapasitasnya untuk bisa mengerti. Begitu Anda mengerti, berdekapan sempurna dengan hidup Anda, kehidupan kemudian berubah wajah menjadi puisi indah kedamaian.
Apakah ada bentuk pelayanan spiritual yang sederhana tapi mendalam? Mendengarkan dengan penuh empati, itulah jawabannya. Terutama karena di zaman ini banyak sekali jiwa yang lapar didengarkan. Maunya ingin dan pengin banget didengarkan daripada mendengarkan. Sebagian besar lebih memang mau membuang sampah. Tapi kalau Anda bisa mengolah sampah, suatu hari ia akan jadi bunga. Bila Anda tekun menanam bibit-bibit cinta pada hati orang-orang dengan memaafkan, menerima, mendengarkan – suatu hari yang mekar duluan adalah bunga hati Anda.
Apakah tanda sederhana kalau jiwa sudah melangkah pulang (tercerahkan)? Pertama-tama melihat kalau masa lalu adalah sumber pelajaran untuk melangkah ke depan. Masa depan masih memberi harapan dan inspirasi, tapi yang terpenting adalah perasaan menyatu dengan saat ini. Menjadi tercerahkan adalah menjadi satu dengan diri Anda apa adanya. Bila orang biasa sangat bernafsu untuk merubah dirinya agar lebih begini lebih begitu, jiwa-jiwa yang sudah pulang sangat menyatu dengan tiap kekinian. Dalam bahasa yang sederhana tapi dalam: rumah jiwa sangat dekat, ia lebih dekat dari setiap tarikan nafas. Tidak sombong ketika di atas, tidak bersedih tatkala di bawah, itulah kesederhanaan kehidupan yang amat mencerahkan.
Dari Abu Juhaifah Wahb bin ‘Abdullah berkata,
آخَى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بَيْنَ سَلْمَانَ ، وَأَبِى الدَّرْدَاءِ ، فَزَارَ سَلْمَانُ أَبَا الدَّرْدَاءِ ، فَرَأَى أُمَّ الدَّرْدَاءِ مُتَبَذِّلَةً . فَقَالَ لَهَا مَا شَأْنُكِ قَالَتْ أَخُوكَ أَبُو الدَّرْدَاءِ لَيْسَ لَهُ حَاجَةٌ فِى الدُّنْيَا . فَجَاءَ أَبُو الدَّرْدَاءِ ، فَصَنَعَ لَهُ طَعَامًا . فَقَالَ كُلْ . قَالَ فَإِنِّى صَائِمٌ . قَالَ مَا أَنَا بِآكِلٍ حَتَّى تَأْكُلَ . قَالَ فَأَكَلَ . فَلَمَّا كَانَ اللَّيْلُ ذَهَبَ أَبُو الدَّرْدَاءِ يَقُومُ . قَالَ نَمْ . فَنَامَ ، ثُمَّ ذَهَبَ يَقُومُ . فَقَالَ نَمْ . فَلَمَّا كَانَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ قَالَ سَلْمَانُ قُمِ الآنَ . فَصَلَّيَا ، فَقَالَ لَهُ سَلْمَانُ إِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، وَلأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، فَأَعْطِ كُلَّ ذِى حَقٍّ حَقَّهُ . فَأَتَى النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ ، فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « صَدَقَ سَلْمَانُ»
“Nabi SAW mempersaudarakan Salman dan Abu Darda’. Tatkala Salman bertandang ke rumah Abu Darda’, ia melihat Ummu Darda’ (istri Abu Darda’) mengenakan pakaian yang kusut. Salman bertanya padanya, “Mengapa keadaanmu seperti itu?” Wanita itu menjawab, “Saudaramu Abu Darda’ sudah tidak mempunyai hajat lagi pada keduniaan.” Kemudian Abu Darda’ datang dan ia membuatkan makanan untuk Salman. Setelah selesai Abu Darda’ berkata kepada Salman, “Makanlah, karena saya sedang berpuasa.” Salman menjawab, “Saya tidak akan makan sebelum engkau pun makan.” Maka Abu Darda’ pun makan.
Pada malam harinya, Abu Darda’ bangun untuk mengerjakan shalat malam. Salman pun berkata padanya, “Tidurlah.” Abu Darda’ pun tidur kembali. Ketika Abu Darda’ bangun hendak mengerjakan shalat malam, Salman berkata lagi padanya, “Tidurlah!” Hingga pada akhir malam, Salman berkata, “Bangunlah.” Lalu mereka shalat bersama-sama. Setelah itu, Salman berkata kepadanya, “Sesungguhnya bagi Rabbmu ada hak, bagi dirimu ada hak, dan bagi keluargamu juga ada hak. Maka penuhilah masing-masing hak tersebut.“ Kemudian Abu Darda’ mendatangi Nabi SAW lalu menceritakan apa yang baru saja terjadi. Nabi bersabda, “Salman itu benar.” (HR. Bukhari).
Faizunal A. Abdillah
Pemerhati lingkungan – Warga LDII Kabupaten Tangerang.