Composed By Ranie Dewiyanti
Minggu lalu Sarah bercerita dia meminjam buku di perpusatakaan sekolahnya. Dia bilang itu adalah buku yang bagus yang jarang sekali dia lihat di perpustakaan manapun. Ditulis dalam bahasa Inggris, dan yang uniknya, buku itu terakhir dipinjam oleh anggota perpusatakaan itu pada tahun 1975 (saya baru berusia 3 tahun saat itu).
Buku itu berjudul STARLAND OF THE SOUTH dan buku ini secara khusus ditulis untuk mereka yang tinggal di atau ingin mengunjungi tanah dimana bersinar Salib Selatan. Menceritakan bagaimana anak-anak imajinatif bisa bergabung dan mengembangkan hobby menonton bintang bersama . Mereka mengalami kegembiraan di sepanjang hidup mereka, menemukan pahlawan dan wanita cantik, dan makhluk aneh dari laut dan darat. Mereka mempelajari cerita-cerita mendebarkan, dan menghidupkan kembali mimpi kuno yang selama ribuan tahun telah mengangkat pikiran laki-laki dari masalah bumi.
Dan pada malam hari, mereka memandang bintang yang menjadi teman mereka, tidak terburu-buru dan senantiasa abadi berlalu dalam kemegahan dan ketenangan malam. Dan seterusnya……
Tapi terlepas dari bagaimana kualitas buku itu, saya sangat menghargai perpustakaan itu masih menyimpan buku antik yang ditulis sebagai Australian Children’s Book of the Year Competition tahun 1951. Publikasi pertama tahun 1950, dicetak ulang tahun 1952, 1959.
Nah kan, saya belum lahir dan bahkan orangtua saya belum menikah… tapi sebuah kualitas sudah bergaung saat itu.
Imajinatif serta sarat akan informasi terkini saat itu ditujukan untuk membangkitkan minat baca, daya khayal dan produktifitas anak yang membacanya.
Tapi kemudian saya ingat kekayaan karya sastra Indonesia yang ternyata ketika saya perhatikan sangat sarat oleh seni yang bernilai tinggi.
- Kalau tidak salah, kesusateraan Indonesia telah dimulai sebelum abad 20-an yaitu pada abad XVII yang dikenal dengan istilah Angkatan Pujangga Lama. Karya angkatan pujangga lama didominasi oleh syair, pantun, gurindam dan hikayat.
- Angkatan ini berakhir ketika Indonesia mengidentifikasikan karya sastranya yang lahir pada tahun 1870-1942 sebagai karya sastra Melayu Lama yang berkembang dilingkungan masyarakat Sumatera seperti “Langkat,Tapanuli, Minangkabau dan daerah Sumatera lainnya”, orang Tionghoa dan masyarakat Indo-Eropa. Karya sastra pertama yang terbit sekitar tahun 1870 masih dalam bentuk syair, hikayat dan terjemahan novel barat. Beberapa karya asli melayu ada seperti Nyai Dasimah oleh G. Fancis (Indo), Bunga Rampai oleh AF van Dewall, Cerita Nyai Sarikem (semua ko tentang perempuan ya???) atau Busono oleh Tirto Adhi Soerjo.
- Lalu diteruskan oleh Angkatan Balai Pustaka yang dimulai sejak tahun 1920an. Prosa (roman, novel, cerita pendek dan drama) dan puisi mulai menggantikan kedudukan syair, pantun, gurindam dan hikayat dalam khazanah sastra di Indonesia pada masa ini. Balai Pustaka didirikan pada masa itu untuk mencegah pengaruh buruk dari bacaan cabul dan liar yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian/cabul dan dianggap memiliki misi politis/liar (tuuh kan bener, napa ko ceritanya perempuan mulu ya pas Melayu Lama???). Balai Pustaka menerbitkan karya dalam tiga bahasa yaitu bahasa Melayu-Tinggi, bahasa Jawa dan bahasa Sunda; dan dalam jumlah terbatas dalam bahasa Bali, bahasa Batak, dan bahasa Madura. Nur Sutan Iskandar dapat disebut sebagai “Raja Angkatan Balai Pustaka” sebab banyak karya tulisnya pada masa tersebut. Selain ada juga Marah Rusli, Merari Siregar dan Moh. Yamin. Karya yang fenomenal dan terkenal seperti Siti Nurbaya dan Salah Asuhan.
- Kemudian lahir angkatan Pujangga Baru yang lebih modern karena mengenal Seni untuk Seni dan Seni untuk Pembangunan Masyarakat. Seni sudah digunakan sebagai alat pembentukan jati diri, pembangunan dan spirit untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Angkatan Pujangga Baru hidup pada tahun 1930-1942. Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistik dan elitis. Pada masa itu, terbit pula majalah Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana, beserta Amir Hamzah dan Armijn Pane. Karyanya Layar Terkembang, menjadi salah satu novel yang sering diulas oleh para kritikus sastra Indonesia. Selain Layar Terkembang, pada periode ini novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck dan Kalau Tak Untung menjadi karya penting sebelum perang.
- Angkatan ’45; Pengalaman hidup dan gejolak sosial-politik-budaya telah mewarnai karya sastrawan Angkatan ’45. Karya sastra angkatan ini lebih realistik dibanding karya Angkatan Pujangga baru yang romantik-idealistik. Karya-karya sastra pada angkatan ini banyak bercerita tentang perjuangan merebut kemerdekaan seperti halnya puisi-puisi Chairil Anwar. Sastrawan angkatan ’45 memiliki konsep seni yang diberi judul “Surat Kepercayaan Gelanggang”. Konsep ini menyatakan bahwa para sastrawan angkatan ’45 ingin bebas berkarya sesuai alam kemerdekaan dan hati nurani. Selain Tiga Manguak Takdir, pada periode ini cerpen Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma dan Atheisdianggap sebagai karya pembaharuan prosa Indonesia. Penulis Angkatan ’45 antara lain Chairil Anwar, Idrus, Asrul Sani, dll
- Angkatan 1950-1960; Angkatan 50-an ditandai dengan terbitnya majalah sastra Kisah asuhan H.B. Jassin. Ciri angkatan ini adalah karya sastra yang didominasi dengan cerita pendek dan kumpulan puisi. Majalah tersebut bertahan sampai tahun 1956 dan diteruskan dengan majalah sastra lainnya,Sastra.Pada angkatan ini muncul gerakan komunis dikalangan sastrawan, yang bergabung dalam Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra) yang berkonsep sastra realisme-sosialis. Timbullah perpecahan dan polemik yang berkepanjangan diantara kalangan sastrawan di Indonesia pada awal tahun 1960; menyebabkan mandegnya perkembangan sastra karena masuk kedalam politik praktis dan berakhir pada tahun 1965dengan pecahnya G30S di Indonesia. Terlahir sastrawan-sastrawan masa ini seperti Pramoedya Ananta Toer, NH Dini, Sitor Situmorang, Ajip Rosidi, dll.
- Angkatan 1966-1970; Angkatan ini ditandai dengan terbitnya Horison (majalah sastra) pimpinan Mochtar Lubis. Semangat avant-garde sangat menonjol pada angkatan ini. Banyak karya sastra pada angkatan ini yang sangat beragam dalam aliran sastra dengan munculnya karya sastra beraliran surealistik, arus kesadaran, arketip, dan absurd. Penerbit Pustaka Jaya sangat banyak membantu dalam menerbitkan karya-karya sastra pada masa ini. Sastrawan pada angkatan 1950-an yang juga termasuk dalam kelompok ini adalah Motinggo Busye, Purnawan Tjondronegoro, Djamil Suherman, Bur Rasuanto, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono dan Satyagraha Hoerip Soeprobo dan termasuk paus sastra Indonesia, H.B. Jassin.
- Angkatan 1980-1990an; Karya sastra di Indonesia pada kurun waktu setelah tahun 1980, ditandai dengan banyaknya roman percintaan, dengan sastrawan wanita yang menonjol pada masa tersebut yaitu Marga T. Karya sastra Indonesia pada masa angkatan ini tersebar luas diberbagai majalah dan penerbitan umum. Beberapa sastrawan yang dapat mewakili angkatan dekade 1980-an ini antara lain adalah: Remy Sylado, Yudistira Ardinugraha, Noorca Mahendra, Seno Gumira Ajidarma, Pipiet Senja, Kurniawan Junaidi, Ahmad Fahrawie, Micky Hidayat, Arifin Noor Hasby, Tarman Effendi Tarsyad, Noor Aini Cahya Khairani, dan Tajuddin Noor Ganie. Namun yang tak boleh dilupakan, pada era 1980-an ini juga tumbuh sastra yang beraliran pop, yaitu lahirnya sejumlah novel populer yang dipelopori oleh Hilman Hariwijaya dengan serial Lupusnya. Justru dari kemasan yang ngepop inilah diyakini tumbuh generasi gemar baca yang kemudian tertarik membaca karya-karya yang lebih berat. Ada nama-nama terkenal muncul dari komunitas Wanita Penulis Indonesia yang dikomandani Titie Said, antara lain: La Rose, Lastri Fardhani, Diah Hadaning, Yvonne de Fretes, dan Oka Rusmini.
- Angkatan Reformasi; Seiring terjadinya pergeseran kekuasaan politik dari tangan Soeharto ke BJ Habibie lalu KH Abdurahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati Sukarnoputri, muncul wacana tentang “Sastrawan Angkatan Reformasi”. Munculnya angkatan ini ditandai dengan maraknya karya-karya sastra, puisi, cerpen, maupun novel, yang bertema sosial-politik, khususnya seputar reformasi. Di rubrik sastra harian Republika misalnya, selama berbulan-bulan dibuka rubrik sajak-sajak peduli bangsa atau sajak-sajak reformasi. Berbagai pentas pembacaan sajak dan penerbitan buku antologi puisi juga didominasi sajak-sajak bertema sosial-politik.Sastrawan Angkatan Reformasi merefleksikan keadaan sosial dan politik yang terjadi pada akhir tahun 1990-an, seiring dengan jatuhnyaOrde Baru. Proses reformasi politik yang dimulai pada tahun 1998 banyak melatarbelakangi kelahiran karya-karya sastra — puisi, cerpen, dan novel — pada saat itu. Bahkan, penyair-penyair yang semula jauh dari tema-tema sosial politik, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Ahmadun Yosi Herfanda, Acep Zamzam Noer, dan Hartono Benny Hidayat dengan media online: duniasastra(dot)com -nya, juga ikut meramaikan suasana dengan sajak-sajak sosial-politik mereka.
- Angkatan 2000an; Setelah wacana tentang lahirnya sastrawan Angkatan Reformasi muncul, namun tidak berhasil dikukuhkan karena tidak memiliki juru bicara, Korrie Layun Rampan pada tahun 2002 melempar wacana tentang lahirnya “Sastrawan Angkatan 2000”. Sebuah buku tebal tentang Angkatan 2000 yang disusunnya diterbitkan oleh Gramedia, Jakarta pada tahun 2002. Seratus lebih penyair, cerpenis, novelis, eseis, dan kritikus sastra dimasukkan Korrie ke dalam Angkatan 2000, termasuk mereka yang sudah mulai menulis sejak 1980-an, seperti Afrizal Malna, Ahmadun Yosi Herfanda dan Seno Gumira Ajidarma, serta yang muncul pada akhir 1990-an, seperti Ayu Utami dan Dorothea Rosa Herliany.
Naaah… saya ingin mengulas lebih jauh tentang karya anak-anak sebenarnya, tapi ketika saya menelaah… saya baru sadar, bahwa BUKAN HANYA BATIK yang bisa jadi kebanggaan INDONESIA. Jangan Cuma bangga pake baju batik tapi anda tidak tahu apa itu BATIK, apalagi saya tidak begitu beruntung untuk menyukai BATIK. Tapi jika kita bisa tepat mengemasnya, karya-karya sastra INDONESIA akan menjadi sumber devisa juga buat kita. Seperti China dan Arab/Timur Tengah yang hingga sekarang masih tetap mempertahankan karya-karya sastranya sebagai KEKAYAAN BANGSA MEREKA.