Seorang teman berkomentar, katanya bangsa kita itu pelit pujian, akan tetapi suka obral makian. Pernyataan singkat itu benar – benar mengaduk – aduk sanubari saya. Ada semacam pergumulan dahsyat untuk menyanggah retorika tersebut dengan mengatakan tidak. Pernyataan itu hanya berlaku bagi mereka yang berpikir cupet – supen — alias sumbu pendek, istilah kawan saya dan banyak karena ada motif tertentu seperti frustasi. Namun saya sadar, tak ada gunanya menanggapi komentar itu. Lebih baik, instrospeksi diri, apakah benar saya juga termasuk di dalamnya? Tuas, berkoar – koar, tetapi ternyata saya ada di dalamnya, kan blai jadinya. Seperti kata pepatah kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tidak tampak.
Menapak tilas sedikit sejarah kehidupan saya, pernyataan di atas ada benarnya. Di keluarga saya, jarang – bahkan tidak pernah tepatnya – orang tua saya mengucapkan kalimat pujian. Yang banyak memang makian. Kalau benar itu sudah biasa, nggak perlu dipuji, tetapi kalau salah cacian yang akan menggema. ”Bodoh kamu, begitu saja tidak bisa,” – itu kalimat yang acap saya dengar ketika berbuat salah. Sampai sekarang pun atasan saya di kantor berkata serupa, walau dengan kasus yang berbeda tentunya. Jadi sudah kebal rasanya telinga ini mendengarnya. Artinya menganggap makian hal yang biasa. Tak lebih dari sekedar kata pemanis bicara.
Pujian memang penting dalam kehidupan ini. Asal tidak salah dalam memuji, pujian mempunyai efek yang dahsyat. Seperti seteguk air di gurun sahara. Atau seberkas sinar di kegelapan malam. Beberapa waktu yang lalu saya pernah merasakan hal itu. Ketika atasan saya mengubah jadual kepulangannya, ternyata semua penerbangan full – ludes. Kemudian hopeless, nggak akan bisa pulang sore itu padahal sudah di bandara. Lalu dia mengontak saya untuk segera mencarikan tiket lainnya. Alhamdulillah, berkat bantuan beberapa teman baik, akhirnya saya dapatkan 3 tiket penerbangan sore itu.. Tak lama sebelum dia terbang, dia menelepon saya untuk (hanya) bilang terima kasih (saja) atas bantuan tiketnya. Kalimat terima kasih itu begitu sempurna, melengkapi beberapa kalimat jelek yang telah saya terima sebelumnya. Membuat segar – bugar badan ini, melupakan segala kejelekan dan membuang segala dendam. Hanya satu ucapan terima kasih saja, apalagi kalau sering – sering saya terima.
Beruntunglah, kemudian Allah berkenan memberikan petunjuk kepada saya dalam islam. Ternyata, islam memberi tuntunan yang sempurna dengan apa yang disebut makarimal akhlaq. Tengoklah dalam rutinitas sholat, kalimat pembuka selalu diawali dengan pujian. Kalimat itu adalah Alhamdulillahi robbil alamiin – segala puji bagi Allah rob semesta alam. Setidaknya 17 kali kita diingatkan untuk mengucapkannya. Kemudian dalam nasehat selalu diawali dengan pujian juga kepada Allah. Setelah itu pujian kepada Nabi Muhammad SAW dan para perantara agama lainnya. Kemudian dalam atsar lainnya, Rasulullah SAW memberikan ajaran yang mulia mengenai cara – cara memuji ini.
Dari Anas r.a. dia berkata, “Orang – orang Muhajirin berkata; ‘Ya Rasululloh orang – orang Anshor mendapatkan seluruh pahala. Kami tidak melihat kaum yang lebih baik dermanya dengan harta yang banyak dan lebih baik pertolongannya dengan harta yang minim daripada mereka. Mereka telah mencukupi kita dalam urusan kebutuhan.’ Beliau menjawab;” Bukankah kalian memuji mereka dan mendoakan mereka?” Mereka menjawab, ‘Tentu.’ Beliau bersabda;”Itu cukup sepadan dengan kebaikan mereka itu.”( Rowahu Abu Dawud dan an-Nasai.)
Diriwayatkan dari Usamah bin Zaid r.a. dia berkata, “Rasululloh SAW bersabda;’Barangsiapa diberi suatu kebaikan, lalu dia berkata kepada pemberinya – Jazaakallohu khairo/Semoga Allah membalas kebaikan (yang lebih baik) kepadamu – maka dia telah sampai (sempurna) di dalam memuji.”(Rowahu at-Tirmidzi, dia berkata hadist hasan ghorib)
Dua hadits ini rasanya sudah cukup untuk menjadi dasar bagi praktik kehidupan yang penuh dengan pujian. Memuji dengan benar dan berpahala. Maka saya sering mempraktikan dalam kehidupan kecil rumah tangga saya. Habis makan saya mensyukuri istri, telah menyediakan makan, walau beli. Habis amal sholih, habis belanja, jalan – jalan dan kegiatan – kegiatan lain yang kami lakukan bersama. Kepada anak – anak, ketika mau ngaji, mau sholat, berbuat baik – nurut, saya puji dengan mensyukurinya. Dengan kata lain, statement teman kantor saya di atas dengan sendirinya telah terbantahkan.
Satu hal yang perlu diperhatikan dalam memuji ini adalah harus tulus dari dalam hati, tidak berlebihan dan tidak mengandung kebohongan. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW berikut.
Dari Jabir r.a. dari Nabi SAW beliau bersabda, “Barangsiapa diberi suatu pemberian lalu dia mempunyai sesuatu untuk membalasnya, maka hendaklah dia membalasnya dengannya. Jika tidak maka hendaknya dia memberi pujian karena barangsiapa yang memberikan pujian maka dia telah bersyukur, dan barangsiapa menyembunyikan maka dia telah kufur. Barangsiapa menghiasi dirinya dengan sesuatu yang bukan miliknya, maka dia seperti orang yang memakai dua helai pakaian kedustaan.” (Rowahu at_Tirmidzi (hadist hasan ghorib) dan Abu Dawud).
Di kehidupan, praktik Jazaa Kumullah Khairo (ucapan terima kasih yang artinya”semoga allah dapat memberikan/membalas yang lebih baik”) adalah contoh yang sempurna. Tinggal kita mengembangkan dan mengahayati dengan sebenar – benarnya. Dengan ketulusan, kedalaman makna dan penghayatan lahir – batin, agar kalimat itu yoni adanya dan tidak berubah makna, menjadi hanya sekedar basa – basi saja. Atau bahkan penghias bibir semata. Nah, sudah sadarkah kita dengan praktek adi luhung semua itu? Atau, masih seperti statement teman kantor saya.
Oleh:Ustadz.Faizunal Abdillah