Menerima nasehat itu gampang – gampang susah. Gampangnya kalau hati lagi senang, yang nasehat orang yang diharapkan dan topiknya pas dengan yang dibutuhkan. Rasanya seperti menerima durian runtuh. Walau kata yang diomongin itu nyakitin, tetap berlapang dada bisa menerima. Senyum pun terus mengembang, mengalir deras menuju hati yang terdalam. Nancep. Tak merasa disakiti. Tak merasa dikeneki. Pokoknya eunak pol, melebihi sego liwet – jangan terong. Jamnya lewat pun masih semangat mendengarkan. Anteng. Adem. Penginnya lagi dan lagi.
Di sisi lain, ada orang yang susah menerima nasehat. Segala yang diomongkan terasa nggak pas terus. Ibarat sayuran kurang garam. Anyep. Kata – kata jadi hambar. Tak berkenan. Begini salah, begitu juga salah. Yang lain pada ketawa, eh dia malah sinis. Cengar – cengir dongkol. Waktu sekana gak abis – abis. Kenapa? Sebabnya bisa bermacam – macam. Bisa lagi bokek. Bisa juga emang lagi banyak masalah. Nggak suka dengan yang nasehat. Lagi capek berat, nggak ingin diganggu. Maunya istirahat total, tapi disuruh ngaji. Sakit hati. Ngambeg. Kenekan. Lagi berantem dengan pasangannya. Tidak sabar dan berpikir hal yang lain di waktu yang bersamaan. Dan masih banyak lagi sebab lainnya.
Dua gambaran di atas adalah ilustrasi umum kondisi para pendengar -pencinta nasehat dalam menerima nasehat yang dilakukan dengan cara oratoris. Maksudnya yang ngomong satu yang mendengarkan orang banyak. Atau nasehat dari atas ke bawah – top down – single show. Situasi yang seperti ini, lebih menguntungkan dan lebih enak ketimbang apa yang saya sebut sebagai nasehat pribadi: antar pribadi – orang per orang. Ternyata, budaya kita belum menunjukkan sikap yang dewasa dalam menerima maupun memberikan nasehat personal ini. Walau sudah jelas berbuat salah, kadang mulut tidak mau diam. Ketika dinasehati, masih saja nerocos memberikan pembelaan. Kadang yang nasehat malah terbalik menjadi yang dinasehati. Akibatnya, banyak orang yang memilih diam, daripada nanti malah membuat “keributan”. Paling cuma melaporkan kepada yang berwenang. Hal seperti ini tidak salah. Hanya perlu pengukuhan agar kita bisa benar – benar menikmati perintah Allah watawashou bil haq dan watawashou bish-shobr dengan sebenar – benarnya.
Pengalaman kecil pernah saya alami. Suatu ketika, pada suatu waktu, saya pernah ditungguin seseorang untuk dinasehati. Saya tidak pernah merasa melakukan kesalahan, tetapi ada yang menganggap saya melakukan hal yang aneh dan perlu diluruskan. Ketika saya mulai salam saya agak kaget, karena orang itu sudah menunggu dengan wajah angkernya persis menghadap wajah saya. Wajah ketemu wajah. Selesai salam, langsung si Bapak memberikan nasehatnya, “Mas, saya juga sering belum selesai baca tahiyyat. Tapi kalau imam sudah salam, maka saya juga terus salam. Nggak usah nunggu baca tahiyyat saya selesai”.
Setengah sadar, saya membalas nasehat itu dengan senyum dan diam saja. Tak sepatah kata pun keluar dari mulut saya. Ucapan syukur pun lupa. Mungkin kalau di luar sholat, saya akan berargumenn; apa yang tidak pas dengan gerakan sholat saya? Setidaknya ucapan syukur, mau mengingatkan. Tetapi ucapan syukur apa? Bukankah yang saya lakukan benar? Saya memang sengaja salam, setelah imam selesai salam kanan dan kiri. Dan kadang memang agak terlambat. Demikian juga dengan gerakan sholat saya yang lain. Saya selalu menunggu imam telah sempurna melakukannya, baru saya menyusul. Nggak terburu – buru.
Mungkin semua sudah baca dan faham akan dalil – dalil di bawah ini. Tetapi prakteknya mungkin agak berbeda. Dan saya memilih imam sempurna melakukan sebuah gerakan, baru saya mengikutinya. Kalau misal imam takbir, maka saya menunggu sampai takbirnya sempurna, baru saya takbir. Kalau ruku’ juga begitu, imam sudah sempurna ruku’nya baru saya ruku’. Sujud pun sama, setelah imam sujud dengan sempurna baru saya sujud. Nah, salam pun begitu. Orang mungkin melihat saya sengaja menelatkan sholat, dan akhirnya saya mendapatkan hadiah itu. Tetapi apakah kita tidak ingat bahwa yang tidak boleh adalah mendahului imam?
Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya imam itu dijadikan untuk diikuti. Jika dia takbir maka takbirlah kalian, jika dia membaca maka diamlah kalian, dan jika dia mengucapkan sami’allahu liman hamidah, maka katakanlah Allahumma Rabbana lakal hamdu.” (HR. Nasai)
Rasulullah SAW bersabda: “Tidakkah takut orang yang mengangkat kepalanya sebelum imam, Allah mengubah kepalanya menjadi kepala keledai atau mengubah rupanya menjadi rupa keledai?”(Muttafaqun alaih)
Begitulah hidup. Pemahaman orang bisa bermacam – macam. Ada yang menilai (mempunyai pengertian) kalau tidak sama dengan dirinya itu salah. Tidak sama dengan umumnya itu keliru. Padahal tidak begitu seharusnya. Harus dilihat dengan jernih dasar pengamalannya. Jangan suudhon duluan. Dan lebih arif lagi jika kita mau menanyakan kenapa ia melakukannya? Kenapa memilihnya? Tapi itu tak penting, the show must go on.
Sebagai orang yang hidup dalam kesahajaan, pengin menjadi orang baik luar – dalam, dunia dan akhirat malahan, maka sebuah perkeling tetaplah perkeling. Tanpa melihat benar dan salah, pun tidak bermaksud sombong – sombongan, setelah nasehat itu, ternyata badan saya pun meresponnya. Entah kenapa. Terus terang saya jadi kepikiran. Terngiang – ngiang terus dengan perkataannya. Saya buka kembali K. Sholah, saya deres kembali, untuk menemukan bahwa diri ini masih tetap di jalan sunnah. Masih meniti cinta Ilahi robbi. Dan akhirnya, di kesempatan lain, pun kuucap syukur kepadanya atas perkeling yang membuat saya mriang semalaman itu. Itulah indahnya hidup… jika semua berpikir hal – hal yang baik.
Oleh: Ustadz Fami