Pagi di Mawar Conference Room, Balai Kartini pada 6 Maret 2007 silam, bukanlah pagi yang tenang. 1200 orang riuh rendah memadati ruangan. Mereka adalah 800 pengurus LDII mulai tingkat DPP hingga DPD Propinsi dan Kabupaten/Kota. 400 ulama yang terdiri dari guru pesantren dan pengurus pesantren hadir pula. Acara itu berakhir pada 8 Maret silam.
Di luar Jakarta sedang dibalut mendung. Memang cuaca sedang tak bersahabat, terkadang mendung pekat tiba-tiba datang menyulap langit menjadi keruh. Malah kerap kali angin ribut menampar pucuk-pucuk pepohonan dan membuatnya meliuk-liuk, berkesiur rawan.
Toh bila kilat di luar gedung menyambar-nyambar, itu tak semenderu suasana hati peserta rakernas. Rakernas kali ini terasa beda. Bayangkan saja sejak 1971, ketika organisasi ini masih bernama Lemkari tudingan buruk dan fitnah tak berhenti menyapa. Malah pada Musyawarah Besar IV Lemkari, Jakarta 19 November 1990, ketika Rudini, Menteri dalam Negeri saat itu mengusulkan agar Lemkari diubah menjadi LDII. Tuduhan sebagai Islam Jamaah yang eksklusif tak juga reda. Nah inilah saat yang tepat mengumumkan pada dunia keputusan Komisi Fatwa MUI, bahwa LDII bukan aliran sesat.
Lobi-lobi pun digelar agar para pejabat publik hingga para ulama berkenan datang pada perhelatan yang bersejarah bagi warga LDII itu. Gegap gempita Rakernas LDII 2007 ini sejatinya tak mulus-mulus amat. Terbetik kabar ada yang berkehendak agar acara ini urung didatangi para ulama atau pejabat publik.
Mereka layak hisap jempol kecewa, lantaran Abu Rizal Bakrie, Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, berkenan membuka acara itu. “Saya datang tepat waktu itu mudah, tapi dijanjikan 1000 orang lebih hadir di sini itu sulit. Ternyata Ketua Umum LDII bisa, itu pertanda LDII organisasi yang solid. Ternyata kita sama-sama menepati janji,” ujarnya. KH Ma’ruf Amin, Ketua Komisi Fatwa MUI memberi pula materi.
Hadir pula pada saat itu dan duduk di kursi terdepan KH Munzir Tamam Ketua Umum MUI DKI Jakarta, KH Katamsah Ketua MUI Jakarta Utara, KH Ahmad Sodri Ketua MUI Jakarta Timur, KH Shidiq Fauzi Ketua MUI Jakarta Selatan, KH Ibrahim Karim Ketua MUI Jakarta Barat, MUI Jakarta Pusat, KH Syarifuddin Mahfudz Ketua KODI DKI Jakarta, Dewan Masjid Indonesia, KH Syarif Syaifuddin Ketua Forum Komunikasi Lembaga Dakwah DKI Jakarta, Dr H Jaelani Ketua Jakarta Islamic Centre, Sekjen PKNU, dan Yudi Chrisnandi anggota Komisi I DPR RI. Malah pada acara pembukaan pagi itu, KH Munzir Tamam yang menutup dengan doa.
Dalam pidato pembukaan, Prof DR Ir. KH Abdullah Syam, MSc, Ketua Umum LDII menegaskan LDII memiliki komitmen agar negara kesatuan Republik Indonesia tetap berideologi Pancasila dan UUD 45, “Untuk itu LDII akan terus meningkatkan Ukhuwah Islamiyah dan mengembangkan kerukunan antar umat beragama, sesuai harapan pemerintah,” ujarnya.
LDII terus pula mendorong peningkatan kesejahteraan umat, melalui kelembagaan ekonomi syariah, “Yang dilandasi dengan sikap jujur, amanah, kerja keras, dan pola hidup hemat, serta mengembangkan sikap rukun, kompak, dan kerjasama yang baik,” urainya. Dalam pidatonya, dia juga menampik bila LDII mengajarkan ajaran Islam Jamaah. “Justru LDII sedang membina dan meluruskan orang-orang yang masih melaksanakan ajaran Islam Jamaah, dalam kegiatan ibadah masjid-masjid LDII pun terbuka untuk umum,” pungkasnya.
Suara gong yang ditabuh Ir. H. Abu Rizal Bakrie, penanda acara dimulai. Hadirin berdiri bertepuk tangan. Gemuruh suaranya seperti sedang berbangga. Dalam pidato sambutannya, Ical – sapaan akrabnya – mengingatkan tanggung jawab bangsa ini semakin besar. Yang berarti itu menjadi tanggung jawab warga LDII pula.
Katanya, hasil pendataan sosial ekonomi penduduk pada 2005 diperoleh jumlah rumah tangga miskin 19,1 juta. Terdiri dari 3,9 juta miskin, 8,2 juta sangat miskin, dan 7 juta orang hampir miskin. Menurutnya, pemerintah nerupaya keras mengentaskan kemiskinan. Tahun 2006 pemerintah mengalokasikan dana Rp 42 Triliun dan meningkat menjadi Rp 51 Triliun, “Yang disebarkan ke berbagai kementerian dan departemen untuk memutus rantai kemiskinan,” ujar Ical.
Tapi langkah pemerintah ini harus dibarengi pemerintah daerah dengan LSM, dunia usaha, akademisi, organisasi kemasyarakatan, dan organisasi keagamaan seperti LDII, “Pemerintah dalam hal ini tak dapat bekerja sendiri,” paparnya. Kuncinya, rakyat miskin harus dijadikan subyek pembangunan bukan semata-mata sebagai obyek, “Bila ruang partisipasi masyarakat miskin sebagai subyek pembangunan terbuka lebar maka pemberdayaan masyarakat miskin untuk mencapai kemandirian makin besar pula,” ujarnya.