Jakarta (11/10). Para cendekia dan sebagian besar rakyat Indonesia mulai tersadar soal laut, yang bisa mendatangkan berkah juga ancaman. China mengklaim wilayah Laut China Selatan, termasuk perairan Natuna merupakan Zona Ekonomi Eksklusif, yang mengakibatkan insiden antara Angkatan Laut Indonesia dengan Coast Guard China.
China juga tak mengakui putusan menolak keputusan Pengadilan Tetap Arbitrase (PCA), mengenai konflik perbatasan dengan Filipina, yang dimenangi negeri jiran itu. Konflik yang sewaktu-waktu meletup itu menggugah kesadaran bangsa Indonesia sebagai salah satu pemilik negara maritim terbesar di dunia. Hal itu yang mendorong DPP LDII menggelar Forum Group Discussion (FGD) menyambut Munas VIII LDII.
“Kami ingin rakyat Indonesia meningkatkan wawasan maritim sebagai bagian strategis dari empat konsensus nasional. Kami berharap dapat menggali pemikiran pemanfaatan sumberdaya maritim untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan menjaga kedaulatan,” ujar Ketua Umum DPP LDII, Abdullah Syam.
Ketua MPR Zulkifli Hasan yang didapuk menjadi keynote speaker dalam FGD itu menyatakan Indonesia merupakan negara yang memiliki pantai terpanjang di dunia, laut yang luas, dan pulau yang banyak, namun kebijakan pemerintahnya tidak mendukung itu semua. “Konsep kemaritimannya tidak ada. Apalagi ditambah dengan tidak meratanya pembangunan di wilayah-wilayah kepulauan, tentunya ini tidak mendukung konsep kemaritiman,” papar Zulkifli Hasan.
Persoalan kemaritiman nasional sejatinya mudah diselesaikan. Asal pemerintah benar-benar menjalankan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. “Apalagi kami ini pemerintah dan legislatif adalah pelayan rakyat. Kami harus bisa memaksimalkan sumber daya alam yang melimpah guna sepenuhnya kemakmuran rakyat,” ujar Zulkifli Hasan.
Sementara itu, pengamat pertahanan dan militer Connie Rahakundini Bakrie, menyoroti pentingnya peningkatan teknologi di bidang pertahanan dalam menjaga kedaulatan NKRI. Terlebih Indonesia adalah negara non alignment movement (Non-blok), mau tak mau harus mandiri dalam hal pertahanan dan juga ekonomi.
“Negara-negara di ASEAN ada yang tergabung dalam negara commonwealth, atau aliansi-aliansi lain yang berkiblat ke Eropa-Amerika. Sedangkan Cina beraliansi dengan Rusia. Sementara Indonesia dengan bangganya menyatakan non-aliance tapi minim teknologi dan finance,” kata Connie. Ia menyarankan pemerintah harus realistis karena angkatan bersenjata kalah dalam segala hal, untuk itu juga harus mempertimbangkan bergabung dalam aliansi dengan negara lain.
Connie menuturkan, wilayah laut dalam Indonesia sering dilalui kapal-kapal selam asing tanpa terdeteksi karena minimnya teknologi. Untuk menjadi negara poros maritim dunia, Indonesia harus siap atas hal itu. “Pemerintah wajib berperan aktif dalam meningkatkan keseimbangan pertahanan. Dan rencana pertahanan itu tidak hanya selesai di 2019 saja, tapi 50 tahun ke depan hingga 100 tahun ke depan,” ujar Connie. Siapapun pemimpinnya, kedaulatan NKRI harus menjadi prioritas utama mulai saat ini hingga di masa mendatang.
Berbeda dengan Connie, Ketua Center for Chinese Studies dan juga wartawan Rene L. Pattiradjawane justru menekankan pentingnya non-blok, karena itu adalah bagian dari sejarah dan sikap Indonesia terhadap blok barat dan timur.
“Terkait kemaritiman, kebijakan pemerintah seharusnya bisa mendukung teknologi pertahanan. Ingat, pada waktu perang dingin, pertahanan militer Indonesia termasuk yang paling kuat. Namun sekarang, akibat kebijakan finansial yang memangkas anggaran pertahanan membuat angkatan bersenjata kita dianggap remeh negara lain,” ujar Rene.
Rene mengingatkan, bahwa Presiden pertama Indonesia Sukarno telah menyatakan wawasan nusantara sejak tahun 1950-an. Ini mencakup seluruh wilayah kepulauan dan maritim di Indonesia. Saat ini kebijakan-kebijakan pemerintah tidak mendukung ke arah itu.
Terkait pelanggaran China di Laut China Selatan, menurut Rene adalah upaya China dalam memperluas wilayah sumber daya. “China sendiri mengakui bahwa pulau Natuna adalah milik Indonesia, namun perairan Natuna adalah wilayah penangkapan ikan nelayan tradisional China,” ujar Rene.
Menurut Ketua DPP LDII Prasetyo Sunaryo, Indonesia memerlukan pemantauan dan pengawasan terpadu melalui penggunaan kombinasi berbagai jenis teknologi, dengan memaksimumkan potensi domestik seperti kombinasi teknologi dirgantara, maritim, teknologi pemantauan (satelit dan radar), teknologi informasi dan komonikasi, pusat pengolahan dan distribusi data, pusat kendali, dan stasiun atau pos wilayah.
“Kalau ada suatu negara sampai membuat pulau buatan untuk dijadikan pangkalan kekuatan bersenjatanya, maka Indonesia dengan belasan ribu pulaunya sudah dapat langsung digunakan sebagai basis atau sebagai platform penempatan instrumen pertahanan, baik untuk matra laut ataupun matra udara, termasuk platform rudal” pungkasnya. (Eko/LINES)