Kediri (25/5). Santri adalah generasi muda harapan bangsa yang seyogyanya memiliki wawasan kebangsaan, bela negara dan jiwa saling menghargai antarsesama. Cita-cita tersebut akan terwujud jika para santri berpartisipasi dalam usaha bela negara, wawasan kebangsaan dan toleransi.
Hal tersebut diungkapkan Komandan Kodim 0809 Kediri Letkol Inf. Ragil Jaka Utama pada seminar “Wawasan Kebangsaan, Bela Negara, dan Moderasi Beragama”, yang diselenggarakan Ponpes Wali Barokah, Kota Kediri, Jawa Timur, pada Rabu (21/5).
Menurut Ragil, cara bela negara itu disesuaikan dengan profesi masing-masing. Ketika menjadi santri, mereka harus belajar yang rajin, menghormati guru dan menyayangi teman. Itulah wujud bela negara.
“Hal yang diharapkan untuk generasi muda sekarang adalah jangan sekali-kali melupakan sejarah. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati pahlawannya, itu yang disampaikan bapak Proklamator, Soekarno,” ucap Letkol Inf Ragil.
Ragil melanjutkan, perjuangan bangsa Indonesia dalam meraih kemerdekaan tidak tiba-tiba. Tapi melalui proses yang sangat panjang, melelahkan, dengan pengorbanan jiwa dan raga. Mulai dari periode perlawanan. “Dari ujung barat, ada tokoh nasional seperti Cut Nyak Dien, Pangeran Diponegoro, dan di timur ada Pattimura. Mereka melakukan perlawanan yang bersifat kedaerahan,” tuturnya.
Kemudian masuk ke periode kebangkitan nasional, mulai tumbuh suatu kesatuan dan kesadaran untuk berbangsa. Hingga muncul organisasi Budi Utomo, kemudian organisasi Sarekat Islam. Hingga Sumpah Pemuda pada tahun 1928. Itulah periode awal kebangkitan nasional.
“Bangsa kita melakukan perlawanan secara terbatas menggunakan senjata yang seadanya, menggunakan bambu runcing. Tapi dengan tetap mengobarkan semangat perlawanan yang luar biasa demi satu tujuan yaitu kemerdekaan negara Indonesia,” lanjut Letkol Inf Ragil.
Setelah diproklamirkannya kemerdekaan negara Republik Indonesia tahun 1945, muncul pemberontakan di beberapa wilayah. Mulai pemberontakan PKI Muso, DI/TII, Permesta, dan lain sebagainya.
“Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terluas di dunia, terdiri dari 38 provinsi, serta jumlah penduduk kurang lebih 283 juta jiwa. Untuk menjaga hal tersebut, maka diperlukan pertahanan Indonesia, dengan komponen utama adalah TNI, sebagai garda terdepan,” katanya.
Saat ini, kondisi global turut mempengaruhi kondisi nasional. “Perang Rusia dan Ukraina yang sampai dengan sekarang masih ada. Yang terbaru perang India dengan Pakistan. Belum lagi konflik Timur Tengah yang tidak kunjung padam,” imbuhnya.
Masuk ke kawasan regional, kawasan ASEAN. Sengketa Laut Cina Selatan, batas-batas negara yang tidak pernah selesai. Semenanjung Korea, Selat Taiwan, dan trans nasional crime atau kejahatan trans nasional.
“Di wilayah Indonesia, muncul ancaman-ancaman seperti separatisme, radikalisme, ekstremisme, bahkan sampai terorisme. Beberapa waktu lalu kita diancam oleh virus Covid-19 yang memakan ribuan orang meninggal dunia. Dan bencana alam yang terjadi termasuk di wilayah Kediri, seperti tanah longsor dan banjir,” ungkapnya.
Berbicara ancaman, mengacu pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002, ada ancaman militer dan non-militer. Ancaman militer berupa agresi militer, ancaman hibrida, sedangkan ancaman non-militer meliputi ancaman di bidang ideologi, politik, sosial, dan budaya.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 Pasal 1, sistem pertahanan keamanan kita adalah Sishankamrata, yang mana melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan berlanjut.
Selain TNI, juga didukung oleh komponen cadangan, yaitu sumber daya nasional yang dilatih dan siap untuk dimobilisasi untuk memperkuat komponen utama. Lalu ada komponen pendukung, yaitu sumber daya nasional selain komponen utama dan cadangan yang ditujukan untuk memperkuat pertahanan.
“Di Indonesia saat ini memiliki tentara aktif kurang lebih 443.000. Dibandingkan dengan jumlah penduduk 200 juta jiwa lebih, jelas ini sangat tidak imbang,” ujar Letkol Inf Ragil.
Maka dari itu beberapa waktu yang lalu, Presiden Prabowo Subianto ketika menjadi Menteri Pertahanan, itu membentuk komponen cadangan yang jika terjadi sesuatu, sewaktu-waktu dibutuhkan, itu siap untuk dimobilisasi atau digerakkan untuk mendukung kekuatan TNI, baik dalam seluruh aspek.
Selanjutnya, berbicara mengenai handphone memiliki dampak positif dan dampak negatif. Dampak positifnya kita dapat mudah mengakses segala informasi melalui handphone. Termasuk sekarang teknologi AI. Akan tetapi, ketika teknologi ini dimanfaatkan untuk hal-hal negatif, efeknya sangat buruk. Pornografi, kekerasan, bahkan beberapa waktu lalu terjadi di lingkungan pondok pesantren.
“Maka manfaatkan handphone itu untuk kegiatan positif, untuk mengerjakan tugas, untuk mengirim berita positif, tapi untuk meng-update hal-hal yang buruk, informasi palsu/hoaks supaya dihindari,” tegasnya.
Dari globalisasi itu, inilah peran bela negara yang sangat penting. Yang mana pengertiannya adalah tekad, sikap, perilaku serta tindakan warga negara, baik secara perorangan, kolektif, dalam menjaga kedaulatan negara, keutuhan wilayah, keselamatan bangsa dan negara. Yang dijiwai oleh kecintaan kepada NKRI berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Berikutnya muncul pertanyaan. Apa yang dibela? Siapa yang dibela? Kenapa harus dibela? Kedaulatan negara yang harus kita bela. Keutuhan wilayah dan Keselamatan bangsa yang harus kita bela.
“Makanya tadi ketika adik-adik yel-yel, NKRI Harga Mati! Nah, inilah keutuhan, kedaulatan, dan keselamatan bangsa. Itu harga mati, tidak boleh ditawar,” tegasnya.
Mengapa harus dibela, Pak? Negara layaknya makhluk hidup, harus dibela. Hak asasi tidak ada kalau tidak ada bela negara, maka kita tidak dapat berkembang dan negara itu akan hancur, negara kita akan hancur. Kalau kita cuek, kita apatis, kita individualistis, bubar negara ini, tidak ada yang peduli terhadap kesatuan dan persatuan bangsa.
Kemudian mengapa harus dibela? Agar tetap hidup dari segala ancaman, baik yang datang dari dalam maupun dari luar Negara Kesatuan Republik Indonesia. Siapa yang harus membela NKRI itu? “Kita semua, warga negara Republik Indonesia tanpa terkecuali. Baik itu profesi apapun wajib. Maka dari itu dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 30, bunyinya setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara.” pungkas Ragil.
Tiga prinsip dasar bela negara yaitu menjaga kedaulatan, menjaga keutuhan wilayah, dan menjaga keselamatan. Kemudian nilai-nilai dasar bela negara, ada lima dimensi utama dalam setiap unsur bela negara. Diantaranya cinta tanah air, sadar berbangsa dan bernegara, setia pada Pancasila sebagai ideologi negara, rela berkorban untuk bangsa dan negara.
Bela negara juga tidak lepas kaitannya dengan empat pilar kebangsaan. Yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Pancasila, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Karakter bangsa Indonesia ini yang akan dimiliki warga negara Indonesia yang mencerminkan sikap dan tindakan, melahirkan suatu kebijakan berdasarkan nilai yang berlaku di masyarakat.
“Karakter yang diharapkan untuk adik-adik sekalian adalah memiliki karakter yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, toleran, gotong royong, patriotik, dinamis, budaya, dan berorientasi berdasarkan Pancasila. Dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ini karakter yang diharapkan santri-santri binaan dari LDII,” tuturnya.
Kalau memiliki kesadaran bela negara yang tinggi, Presiden Soekarno berkata, ‘Berikan aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncang dunia’. “Dalam istilah lain, lebih baik dipimpin oleh seekor singa yang memimpin seribu kambing, maka kambing tersebut akan menjadi seperti pemimpinnya, singa. Tapi ketika 1.000 singa dipimpin oleh satu ekor kambing, maka karakter dan mentalitasnya singa akan seperti kambing,” katanya.
Letkol Inf Ragil berharap, para santri yang mengikuti secara daring maupun secara tatap muka, dapat menjadi generasi yang bangga terhadap identitas bangsa, memupuk cinta tanah air, membangun karakter yang berintegritas. “Santri harus memiliki integritas, memiliki nasionalisme, patriotisme, menjadi generasi yang tangguh dan mandiri, dan meningkatkan kesadaran sosial dan kepedulian terhadap sesama,” tutupnya. (Mzda)