Gayus benar – benar menjadi ’ikon’ bangsa. Sepak – terjangnya menjadi pergunjingan di mana – mana. Heboh. Menghebohkan sekaligus menggelikan. Inilah keadaan bangsa ini sekarang, keadaan hukum kurang – lebihnya seperti apa yang menimpa pegawai pajak golongan III A itu. Pegawai rendahan, punya kekayaan melimpah, bisa mempermainkan hukum bahkan bisa berkeliaran sesuka hatinya. Keadaan normal yang didambakan semua warga, hidup dalam kesahajaan dan kepastian hukum, rasanya masih seperti menggantang asap. Ekonomi belum beranjak dari banyaknya cerita kemiskinan dan pengangguran. Birokrasi masih berbelit yang memusingkan rakyat kebanyakan. Korupsi masih menggurita. Moral semakin transparan, banyak berbalut agama, tetapi kelakuan semakin sekuler. Tak dapat dipertanggungjawabkan. Perbaikan yang dicanangkan belum ada kemajuan. Malah semakin semrawut. Carut – marut. Di belahan lain, si kecil pencuri ayam mati dibakar amuk masa, si nenek tua pengambil 3 biji kakau dikurung 6 bulan penjara, tetapi sang pegawai pajak ini kuat luar biasa. Banyak yang mati bunuh diri gara – gara minta sebungkus mie, tapi banyak pengemplang harta negara menyebar mie seenak udelnya. Sedangkan Gayus, malah jadi selebritis media, walau berkantor di dalam penjara.
Siapa pun yang belum tersentuh hatinya, melihat situasi seperti ini, mungkin itu suatu pertanda. Tanda bahwa hatinya telah terbalik menuju ’kematian’. Siapa pun yang belum merasa, itu adalah suatu perkara. Perkara bahwa hatinya telah terjadi apa – apa. Siapa pun yang belum terketuk mungkin itu suatu bentuk. Bentuk bahwa dirinya telah terbentuk oleh penyakit jaman yang sekarang sedang menggejala. Namun ada juga yang acuh tak acuh. Itu bukan urusan saya. Itu urusan orang atas sana. Yang penting, masih bisa makan dan beraktifitas seperti sedia kala. Mbuh ora weruh. Ini lebih berbahaya. Siapa pun yang belum tergerak melakukan tindakan yang berguna jangan bersedih. Kita bisa memulainya sekarang. Caranya, teruslah beramar ma’ruf dan nahi mungkar. Kapan saja dan di mana saja. Ingatlah selalu bahwa mereka saat ini berada bersama kita. Hidup di waktu yang sama dan di tempat yang sama pula yaitu Indonesia. Simaklah pesan Nabi SAW berikut.
Dari Nu’man bin Basyir dari Nabi SAW, beliau bersabda; ”Perumpamaan orang – orang yang berpegang teguh kepada peraturan – peraturan Allah (Hududillah) dan orang – orang yang melanggarnya adalah seperti suatu kaum yang melakukan undian di kapal, maka sebagian dari mereka menempati bagian atasnya dan sebagian yang lain menempati bagian bawah. Lalu orang – orang yang berada di bagian bawah ini apabila akan mencari air, maka mereka melewati orang – orang yang ada di bagian atas mereka, dan mereka berkata, ’Kalau sekiranya kita membuat lubang untuk bagian kita dan kita tidak harus mengganggu orang yang berada di atas kita.’ Jika orang – orang yang di atas itu membiarkan mereka melakukan apa yang mereka mau, tentu mereka binasa semuanya, dan jika orang – orang yang di atas itu mencegah mereka, maka mereka selamat dan orang – orang yang di atas itu pun selamat semuanya.” (Rowahu al-Bukhari)
Kebanyakan orang masih bingung bagaimana bentuk amar ma’rufnya? Mulailah dari diri sendiri. Jujurlah. Nikmati hidup apa adanya. Syukuri setiap pemberianNya. Jangan serakah. Jangan ikut-ikutan. Tegakkan prinsip mujhid muzhid. Dan banyak lagi hal – hal kecil yang bisa memperkuat jati diri kita sebagai orang iman dengan 6 tabiat luhurnya. Kemudian bimbinglah keluarga, istri, anak dan lingkungan terdekat kita dengan kehidupan saling mengingatkan dan saling menolong dalam kebaikan dan taqwa. Bahwa kita sedang dicoba dengan dunia dan segala bentuk fitnahnya. Tak akan ada yang selamat, kecuali orang – orang yang menyerah dan taat kepadaNya. Sehingga secercah asa ini bisa tetap hidup dan akhirnya menular ke sekelilingnya. Jangan malah redup dan mati sia – sia.
Dalam sebuah relief di Candi Borobudur digambar seekor burung berkepala dua. Dari dua kepala itu, satu berleher panjang dan satunya lagi pendek. Dengan lehernya yang panjang itu, segala macam buah-buahan dilahapnya, sementara si leher pendek tak mampu menggapai satu buah pun. Si leher pendek memohon belas kasihan kepada si leher panjang agar mau memberinya makanan. Tapi, dasar apatis, gak mau tolong – menolong, saling asih, si leher panjang tak sudi memberinya. ”Ambil saja sendiri kalau bisa,” itu kata yang sering diucapkannya.
Sedih nian si leher pendek. Hidup begitu berat, tapi “saudara” setubuh tidak tersentuh untuk memberikan “sedekah”. Maka, daripada cuma melihat impian kosong, dia mematuk umbi beracun yang ada dalam jangkauan lehernya. Apa boleh buat, burung berkepala dua dan bertubuh satu itu pun tewas. Hidup memang harus saling menolong. Tiada yang menguasai atau dikuasai. Tanpa keserakahan, tanpa membeda – bedakan. Selalu ingat sekeliling, ingat samping. Saling mengingatkan, saling mengasihi. Kalau tidak, sirnalah peradaban manusia di muka bumi ini. Wallahu a’lam.
Oleh :Ustadz.Faizunal Abdillah