engalaman kedua di hari Adha kemarin adalah sayur bening. Benar – benar membuat kesan yang berbeda. Bening sesuai kuah sayurnya.Terasa aneh (di lidah), terasa asing (di hati). Tidak ngedumel, walau terasa nyesek, tetapi menjadi jalan untuk mensyukuri – fathibuu bihaa nafsan. Sembari mendalami makna ayat, yang mungkin dengan jalan itulah Allah berkenan memberi pencerahan. Yang saya maksud adalah ayat di Surat Al-Hajji yaitu “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Hajj 27).
Pas prasmanan siang, terbayang sajian makanan enak nan lezat seperti menu kegemaran berupa tongseng dan sop iga. Seperti yang sudah – sudah, biasanya dimasak agak banyak biar bisa tambah – tambah dan memuaskan nafsu kuliner. Mubru jumlahnya. Maklum, gratis lagi. Dan ini adalah acara tahunan. Cocok. Idealnya obral – obral dikit gak apa – apa lah. Loma. Wenang milih. Hura – hura di hari raya. Ditambah habis amal sholih yang menguras tenaga. Melihat makanan tersaji pasti menggiurkan. Ngulu idu, saking ngebetnya. Tapi apa yang terjadi. Baru sekarang – di acara hari kurban – hanya makan setengah centong nasi, satu potong sop tulang dan 5 iris tong seng. Ditambah 2 potong buah semangka. Bukan karena diet, bukan? Atau pantangan, tidak? Namun, stock memang terbatas. Sekembali ngantar anak yang nangis, mbanyaki minta pulang, ternyata makanan sudah diberesi. Selesai sudah. Asa pun tergantung.
Namun masih terlintas setitik harapan. Seperti biasanya, pas hari kurban begini ini, panitia membuat bungkusan masakan yang siap dibawa pulang setiap keluarga. Isinya biasanya sama dengan menu siang tadi. Alasannya, boleh juga, biar di rumah tak perlu masak lagi. Sebab sudah capek gotong – royong seharian. Maka, saya pun tetap berlapang dada, Insya Allah nanti di rumah keinginan bisa diteruskan, mengulangi lagi episode yang tertinggal di siang hari makan sop iga dan tongseng di rumah. Sorenya, selesai beres – beres saya minta istri menyiapkan kudapan makan malam. Asa pun memuncak. Begitu menengok meja makan, yang disuguhkan ternyata menu tumis kacang panjang (sisa sarapan pagi tadi), sayur bayam dan semur tahu. Klepek.
“Kok tidak seperti biasanya ya?,” tanya saya setengah kaget, namun tetap dibuat agak datar.
“Itulah adanya,” sahut istri nggak mau kalah – datar juga.
“Nggak dapat bungkusan?”, suaraku agak tinggi.
“Nggak,” jawabnya singkat.
Blurr…pikiran pun terbang. Saya tersadar. Sebuah kesadaran baru tiba. Alhamdulillah, sebuah pemahaman yang begitu terasa. Antara bertahan mengusir rasa capek, menghayati fathibuu bihaa nafsan – dan menerima situasi yang ada, sayur bening hadir mengaduk bayangan lezatnya sop dan tongseng. Menggantinya dengan keindahan rupa. Bentuk sebuah penghayatan, model perilaku baik yang perlu diketengahkan.
Sesuai ayatnya, bukan masalah daging dan darah kurban yang dipentingkan, akan tetapi ketaqwaan kita semua yang perlu dipertanyakan dalam pelaksanaan ibadah kurban dari tahun ke tahun selama ini. Dan mungkin ini sentilan Allah dalam perjalanan keimanan saya. Sudah tua tapi masih bandel dan dedel – belum faham – faham. Sudah lama, namun masih di situ – situ juga jalan fikirannya. Orang bilang gak maju – maju. Bahwa hal – hal yang menjadi rutinitas bisa saja hilang dan berganti dengan yang lain, tetapi yang masih tetap dan terus dijaga adalah dinamika ketaqwaan itu sendiri. Siap atau tidak dengan dinamika baru yang disebut perubahan. Dalam prakteknya, apakah ia (ketaqwaan) bertambah baik, ada peningkatan atau malah menurun. Dan dalam acara rutin tahunan ini bisa kita bedah salah satunya dengan cara bagaimana kita menyikapi permasalahan ‘daging dan asesorisnya’ ini. Bagi Allah acara qurban telah selesai begitu hewan roboh diterjang tajamnya pisau sang jagal dan darah mengucur ke bumi. Allah tak butuh dagingnya. Allah hanya butuh bagaimana kamu siapkan hatimu dalam berqurban ini. Apakah ia ikhlas? Dipenuhi kesungguhan? Dipenuhi kesakdermoan? Siap berbagi? Atau malah membuat masalah dengannya?
Sedulur, banyak cerita yang timbul dari penanganan “limbah Allah” berupa daging – daging kurban ini. Cerita saya di atas bisa menjadi salah satunya. Dan rasanya tidak mungkin tidak timbul masalah setiap acara kurban ini. Pasti ada masalah, baik yang besar maupun yang kecil. Ada saja. Yang prinsip maupun cepil. Tulisan ini tidak bermaksud menghilangkan masalah, sebab itu mustahil. Sekali lagi tidak. Lebih hanya kepada perkeling seperti apa kita bersikap dalam setiap hari kurban. Ketika terjerumus ke dalam hal – hal yang tidak semestinya, cepatlah sadar. Sebab pastilah itu di luar kontek dasar dalam berkurban yaitu masalah ketaqwaan. Ada yang kecewa tidak kebagian daging. Ada yang kecewa pesenannya terlewatkan. Ada yang kecewa pembagiannya cuma sedikit. Ada yang kurang berkenan dengan panitianya. Ada yang acuh tak acuh. Ada yang kemaruk alias rakus. Ada yang malu – malu, padahal pengin. Dan lain – lainnya. Tengoklah, semua itu bukan esensi yang dimaksud. Itu kembangan saja.
Nah, akhirnya saya bisa berharap. Dengan tulisan ini, setiap pribadi bisa mengendalikan diri. Jangan mencontoh saya. Ketika timbul hal – hal yang mengecewakan, segera sadar dan tidak meneruskannya menjadi lebih besar, sehingga bisa merusak esensi lain dalam kontek yang lebih luas yaitu: kerukunan dan kekompakan. Atau mungkin malah ada yang bilang bodoh, dengan semisal apa yang saya sampaikan ini. Tak mengapa. Sebab saya sendiri juga mentertawakan diri ini dengan kebodohan itu. Tetapi coba di masa yang akan datang, pas hari kurban masaklah sayur bening. Jangan bikin sate, tongseng, gulai atau sop. Dan jika sudah mempraktekkan, sudilah kiranya menceritakan apa yang Anda rasakan kepada saya.
Terus terang banyak kita yang belum siap. Entah alasan praktis maupun karena masalah hukum. Seperti menyerahkan kurban kita bulat- bulat kepada yang membutuhkan. Tidak harus ke orang luar, cobalah kirim ke saudara kita di daerah lain yang membutuhkan. Bawaannya selalu berat dengan berprasangka yang bukan – bukan. Sebelah hati bilang tidak amanah, bisiknya. Dan sebelahnya lagi curiga saja adanya. Selanjutnya, misal tidak makan daging kurban saat hari H-nya, walau tidak dilarang memakannya. Ada saja alasan butuh dan butuh. Maklum faham dalil al-qooni’a wal mu’tar. Pengin ini dan itu. Itu semua tidak dilarang. Padahal kita semua tahu esensi sebenarnya berkurban adalah cinta dan ketaqwaan kita kepada Allah. Itu saja. Simpel saja. Mana yang lebih besar; daging apa ketaqwaan? Dan jika hal ini bisa disadari oleh setiap jiwa, tentu kesenangan melebihi segalanya. Melebihi dunia dan seisinya. Dan mencampakkan kebodohan seperti yang saya alami selama ini.
Itulah dinamika. Kadang datangnya seperti banyolan. Tak disangka. Tak dikira. Saat – saat begini, tak diduga anak saya bertanya pada Ibunya yang pernah tinggal di Jepang. “Kalau good morning, Jepangnya kan Ohaiyo gozaimas. Nah, kalau orang hamil bahasa Jepangnya apa Ma? “
“Ahh, dah lupa. Malas mikirnya …!”
“Nggak tahu ya? Goro – goromu Mas.”
Sambil menikmati sayur bening, saya pun cekikikan mendengarnya. Melupakan hal – hal yang sedang melanda.
Pengalaman kedua di hari Adha kemarin adalah sayur bening. Benar – benar membuat kesan yang berbeda. Bening sesuai kuah sayurnya.Terasa aneh (di lidah), terasa asing (di hati). Tidak ngedumel, walau terasa nyesek, tetapi menjadi jalan untuk mensyukuri – fathibuu bihaa nafsan. Sembari mendalami makna ayat, yang mungkin dengan jalan itulah Allah berkenan memberi pencerahan. Yang saya maksud adalah ayat di Surat Al-Hajji yaitu “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Hajj 27).
Pas prasmanan siang, terbayang sajian makanan enak nan lezat seperti menu kegemaran berupa tongseng dan sop iga. Seperti yang sudah – sudah, biasanya dimasak agak banyak biar bisa tambah – tambah dan memuaskan nafsu kuliner. Mubru jumlahnya. Maklum, gratis lagi. Dan ini adalah acara tahunan. Cocok. Idealnya obral – obral dikit gak apa – apa lah. Loma. Wenang milih. Hura – hura di hari raya. Ditambah habis amal sholih yang menguras tenaga. Melihat makanan tersaji pasti menggiurkan. Ngulu idu, saking ngebetnya. Tapi apa yang terjadi. Baru sekarang – di acara hari kurban – hanya makan setengah centong nasi, satu potong sop tulang dan 5 iris tong seng. Ditambah 2 potong buah semangka. Bukan karena diet, bukan? Atau pantangan, tidak? Namun, stock memang terbatas. Sekembali ngantar anak yang nangis, mbanyaki minta pulang, ternyata makanan sudah diberesi. Selesai sudah. Asa pun tergantung.
Namun masih terlintas setitik harapan. Seperti biasanya, pas hari kurban begini ini, panitia membuat bungkusan masakan yang siap dibawa pulang setiap keluarga. Isinya biasanya sama dengan menu siang tadi. Alasannya, boleh juga, biar di rumah tak perlu masak lagi. Sebab sudah capek gotong – royong seharian. Maka, saya pun tetap berlapang dada, Insya Allah nanti di rumah keinginan bisa diteruskan, mengulangi lagi episode yang tertinggal di siang hari makan sop iga dan tongseng di rumah. Sorenya, selesai beres – beres saya minta istri menyiapkan kudapan makan malam. Asa pun memuncak. Begitu menengok meja makan, yang disuguhkan ternyata menu tumis kacang panjang (sisa sarapan pagi tadi), sayur bayam dan semur tahu. Klepek.
“Kok tidak seperti biasanya ya?,” tanya saya setengah kaget, namun tetap dibuat agak datar.
“Itulah adanya,” sahut istri nggak mau kalah – datar juga.
“Nggak dapat bungkusan?”, suaraku agak tinggi.
“Nggak,” jawabnya singkat.
Blurr…pikiran pun terbang. Saya tersadar. Sebuah kesadaran baru tiba. Alhamdulillah, sebuah pemahaman yang begitu terasa. Antara bertahan mengusir rasa capek, menghayati fathibuu bihaa nafsan – dan menerima situasi yang ada, sayur bening hadir mengaduk bayangan lezatnya sop dan tongseng. Menggantinya dengan keindahan rupa. Bentuk sebuah penghayatan, model perilaku baik yang perlu diketengahkan.
Sesuai ayatnya, bukan masalah daging dan darah kurban yang dipentingkan, akan tetapi ketaqwaan kita semua yang perlu dipertanyakan dalam pelaksanaan ibadah kurban dari tahun ke tahun selama ini. Dan mungkin ini sentilan Allah dalam perjalanan keimanan saya. Sudah tua tapi masih bandel dan dedel – belum faham – faham. Sudah lama, namun masih di situ – situ juga jalan fikirannya. Orang bilang gak maju – maju. Bahwa hal – hal yang menjadi rutinitas bisa saja hilang dan berganti dengan yang lain, tetapi yang masih tetap dan terus dijaga adalah dinamika ketaqwaan itu sendiri. Siap atau tidak dengan dinamika baru yang disebut perubahan. Dalam prakteknya, apakah ia (ketaqwaan) bertambah baik, ada peningkatan atau malah menurun. Dan dalam acara rutin tahunan ini bisa kita bedah salah satunya dengan cara bagaimana kita menyikapi permasalahan ‘daging dan asesorisnya’ ini. Bagi Allah acara qurban telah selesai begitu hewan roboh diterjang tajamnya pisau sang jagal dan darah mengucur ke bumi. Allah tak butuh dagingnya. Allah hanya butuh bagaimana kamu siapkan hatimu dalam berqurban ini. Apakah ia ikhlas? Dipenuhi kesungguhan? Dipenuhi kesakdermoan? Siap berbagi? Atau malah membuat masalah dengannya?
Sedulur, banyak cerita yang timbul dari penanganan “limbah Allah” berupa daging – daging kurban ini. Cerita saya di atas bisa menjadi salah satunya. Dan rasanya tidak mungkin tidak timbul masalah setiap acara kurban ini. Pasti ada masalah, baik yang besar maupun yang kecil. Ada saja. Yang prinsip maupun cepil. Tulisan ini tidak bermaksud menghilangkan masalah, sebab itu mustahil. Sekali lagi tidak. Lebih hanya kepada perkeling seperti apa kita bersikap dalam setiap hari kurban. Ketika terjerumus ke dalam hal – hal yang tidak semestinya, cepatlah sadar. Sebab pastilah itu di luar kontek dasar dalam berkurban yaitu masalah ketaqwaan. Ada yang kecewa tidak kebagian daging. Ada yang kecewa pesenannya terlewatkan. Ada yang kecewa pembagiannya cuma sedikit. Ada yang kurang berkenan dengan panitianya. Ada yang acuh tak acuh. Ada yang kemaruk alias rakus. Ada yang malu – malu, padahal pengin. Dan lain – lainnya. Tengoklah, semua itu bukan esensi yang dimaksud. Itu kembangan saja.
Nah, akhirnya saya bisa berharap. Dengan tulisan ini, setiap pribadi bisa mengendalikan diri. Jangan mencontoh saya. Ketika timbul hal – hal yang mengecewakan, segera sadar dan tidak meneruskannya menjadi lebih besar, sehingga bisa merusak esensi lain dalam kontek yang lebih luas yaitu: kerukunan dan kekompakan. Atau mungkin malah ada yang bilang bodoh, dengan semisal apa yang saya sampaikan ini. Tak mengapa. Sebab saya sendiri juga mentertawakan diri ini dengan kebodohan itu. Tetapi coba di masa yang akan datang, pas hari kurban masaklah sayur bening. Jangan bikin sate, tongseng, gulai atau sop. Dan jika sudah mempraktekkan, sudilah kiranya menceritakan apa yang Anda rasakan kepada saya.
Terus terang banyak kita yang belum siap. Entah alasan praktis maupun karena masalah hukum. Seperti menyerahkan kurban kita bulat- bulat kepada yang membutuhkan. Tidak harus ke orang luar, cobalah kirim ke saudara kita di daerah lain yang membutuhkan. Bawaannya selalu berat dengan berprasangka yang bukan – bukan. Sebelah hati bilang tidak amanah, bisiknya. Dan sebelahnya lagi curiga saja adanya. Selanjutnya, misal tidak makan daging kurban saat hari H-nya, walau tidak dilarang memakannya. Ada saja alasan butuh dan butuh. Maklum faham dalil al-qooni’a wal mu’tar. Pengin ini dan itu. Itu semua tidak dilarang. Padahal kita semua tahu esensi sebenarnya berkurban adalah cinta dan ketaqwaan kita kepada Allah. Itu saja. Simpel saja. Mana yang lebih besar; daging apa ketaqwaan? Dan jika hal ini bisa disadari oleh setiap jiwa, tentu kesenangan melebihi segalanya. Melebihi dunia dan seisinya. Dan mencampakkan kebodohan seperti yang saya alami selama ini.
Itulah dinamika. Kadang datangnya seperti banyolan. Tak disangka. Tak dikira. Saat – saat begini, tak diduga anak saya bertanya pada Ibunya yang pernah tinggal di Jepang. “Kalau good morning, Jepangnya kan Ohaiyo gozaimas. Nah, kalau orang hamil bahasa Jepangnya apa Ma? “
“Ahh, dah lupa. Malas mikirnya …!”
“Nggak tahu ya? Goro – goromu Mas.”
Sambil menikmati sayur bening, saya pun cekikikan mendengarnya. Melupakan hal – hal yang sedang melanda.
Oleh : Faizunal Abdillah