Seorang penasehat bertutur dengan bijak. “Nak, sekarang waktunya ngaji. Bapak tahu besok kamu ujian. Tetapi ngaji itu kewajiban yang lebih penting. Sekarang ayo ngaji dulu. Kamu bisa siapkan untuk ujian sebelum dan sesudah ngaji. Kalau habis ngaji kamu ngantuk, tidurlah dulu. Nanti Bapak bangunkan di sepertiga malam untuk doa dan terus belajar.”
Pagi sebelum berangkat si Bapak terus berpesan menguatakan hati si anak, “Nak, kamu sudah netepi kewajiban. Sudah belajar dan sudah doa kepada Allah. Sekarang berangkatlah untuk ujian. Bapak doakan kamu sukses. Allah pasti menolong. Kamu pasti bisa.” Pleng…!!! Seakan saya mendapatkan tamparan di wajah. Pipi kiri, kanan dan jidat kena juga. Nasehat yang jarang terdengar dan mampu diutarakan. Banyak hati – hati yang tertusuk dengan nasehat itu. Sebab sudah jarang dilakukan oleh kawanan yang disebut sebagai orang tua. Kata – kata yang asing, di tengah kelindan jaman.
Di tempat lain, saya membaca sebuah testimoni dari seorang bapak – salah satu saudara kita – atas keberhasilan anaknya yang mendapat beasiswa belajar di Negeri Hitler. Sebuah prestasi yang membanggakan tentunya. Sebab jarang yang mendapatkan pencapaian seperti itu. Tidak semua orang bisa. Banyak yang mencari, namun tidak seberuntung anaknya. Bukan hanya di kalangan kita, bahkan harus beradu dengan mereka semua, dari luar lingkungan kita. Perasaan bangga rasanya wajar. Sedikit membusungkan dada atas jerih payah selama ini seakan pantas. Apalagi dikaitkan dengan menceritakan nikmat sebagai bentuk kesyukuran yang dalam. Keberhasilan tidak datang tiba – tiba. Perlu usaha yang cerdas dan kontinyu. Dengan niat yang tulus, tentu menjadi hal yang sangat berharga sebagai kaca benggala buat yang lain. Haru. Jangan sampai pupus.
Di sembarang waktu di belahan bumi yang lain, saya mendapati rupa lain lagi. Sebuah nasehat yang begitu menghentak. Wajah lain dari kompleksitas kehidupan dari komunitas yang sama. Realita yang begitu menggoda untuk sekedar didengar. Bahkan saya pun mengalami sendiri kejadiannya. Seorang teman berusaha sekuat tenaga agar bagaimana anaknya bisa sekolah. Boleh bilang dipaksakan. Dengan lantang seorang pembina generus mengingatkan, sekarang banyak para ustadz dan penyampai merasa bangga setelah berhasil menyekolahkan anak – anaknya sampai ke ITM (Institut Teknologi Mbandung). Seolah mengirimkan pesan, jangan ikuti jalan saya. Jelas sekali kata – kata itu. Dan saya pun membisu. Tertekuk dalam, dalam ketermenungan yang sangat. Meratapi apa yang sedang terjadi.
Selanjutnya sang penasehat mengutip, kebanggaan menjadi pembawa dan pembela quran hadits semakin redup, walau kata dari kalangan nara sumbernya sendiri. Yang paling nandes dari nasehatnya adalah banyak orang tua sekarang yang menyiapkan anaknya untuk pandai mencari dunia, bukan pembekalan agar pandai menyikapi dunia ini. Padahal mensikapi dunia inilah hal mendasar yang perlu dipersiapkan, sebagaimana tuntunan Allah – Rasul untuk menjadikan anak – anak orang iman anak yang sholih – sholihat.
Sampai di sini saya instrospeksi. Apakah saya berada di tempat yang salah dan waktu yang salah? Mengalami situasi periodical seperti hal di kompleks saya. Kadang membuat hati pegal. Membaca testimony yang membanggakan, laksana obat kuat untuk berpacu di dalamnya. Juga mendapati situasi yang mengerikan seperti cerita terakhir. Seakan langit mau runtuh. Mau dibawa kemana gerbong agama ini? Kita sering lupa. Ya, itu penyakit lama yang masih menjadi momok di masa modernitas jaman. Padahal Rasulullah SAW mengingatkan; “Ada empat perkara yang termasuk kebahagiaan, yaitu istri yang sholihah, anak – anak yang baik – baik (abroron), lingkungan tempat bergaul yang baik dan rejekinya berada di negeri sendiri.” (Rowahu Ibnu Asakir) Yang dimaksud abroron adalah kualitas yang setara dengan sholih, bahkan cenderung lebih. Abroron adalah penegasan – beriman lagi berilmu, sebagaimana firman Allah – yarfa’illah alladziina amanu walladziina utul ilma darojah, sebagai penjelasan lebih jauh gandengan alladziina amanu wa amilush-sholihaat.
Atau saya termasuk orang yang usil? Yang suka menunjuk hidung orang lain. Padahal sejatinya ketika satu jari menunjuk keluar, tiga jari menunjuk diri sendiri. Menyalahkan bukan tindakan yang tepat. Berdiam diri juga kurang santun. Semua menjadi cermin bahwa kita perlu segera berbenah. Mengambil tindakan yang perlu, baik dan terkontrol. Bukan bersiap pandai mencari dunia, tetapi bagaimana pandai bersikap menghadapi dunia ini. Mungkin kata kunci: pandai menyikapi dunia inilah yang banyak dilupakan.
Pada akhirnya, saya berpikir lagi, rasanya perlu lagi menggelorakan nasehat: beli kerbau dapat talinya – beli ranjang dapat kolongnya dan menanamkan dalam – dalam di setiap bilik sanubari setiap diri, dengan akar hati yang tulus dan dinding tekad yang kuat untuk meraihnya. Atau kita akan benar – benar tertinggal karenanya dan mendapati anak – anak kita tidak sholih lagi, walaupun pandai dan disanjung masalah dunia.
Oleh : Faizunal Abdillah