Terasa segar, ketika di awal tahun dihujani lagi dengan dalil – dalil panjang keharmonisan rumah tangga. Serasa tak cukup. Tak habis – habisnya diingatkan. Terus – menerus, seperti desir angin hujan di bulan januari ini, agar tidak bosen. Bersyukur dan bersyukur lagi, terucap. Berulang kali, agar tak lupa. Sebab keluarga adalah sebuah dinamika. Darinya tersusun sebuah tatanan. Lahir sebuah kekuatan hebat. Dahsyat. Keluarga sehat, masyarakat kuat. Keluarga bahagia, negara sejahtera. Namun sebaliknya, keluarga tidak bahagia, sumber segala mala. Keluarga tidak harmonis, sumber banyak penyakit kronis.
Seperti bangun dari mimpi. Tidur panjang. Perasaan baru kemarin, sekarang sudah diulangi lagi. Betapa pentingnya sebuah tatanan yang bernama keluarga harmonis dan bahagia. Selain sebagai cita – cita, roh, tujuan, visi – misi sebuah biduk rumah tangga, peran keluarga yang harmonis itu menjadi dambaan setiap insan. Unsur penting untuk menciptakan pribadi – pribadi brilian yang memahami arti hidup dan pentingnya kebersamaan. Agar benar – benar menyadari bahwa ajaran kebahagian itu bersifat universal. Tak satu pun orang yang mau menderita. Nggak ada orang yang mau susah. Namun banyak orang yang masih menempuh jalan yang salah dalam meraihnya. Alih – alih memperolehnya, justru jauh dan penuh tanda tanya. Bingung sendiri. Maka ketika ditanya pun tak ada jawabnya. Serupa dengan seonggok dalil, tanpa kesungguhan pemahaman dan mencari bentuk praktek yang pener (temen lan bener), ia adalah hanya sebuah pajangan saja. Tengoklah hadits berikut.
Dari Umi Salamah dia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Perempuan mana saja yang meninggal dunia, dan suaminya ridho darinya, maka dia masuk surga.” (HR at – Tirmidzi )
Selama ini, saya memahami dalil ini dengan prinsip tidak menang – menang, akan tetapi menang – kalah. Yaitu dengan memberikan tekanan, tepatnya tuntutan, agar istri bisa berbuat baik dan taat terus kepada suami. Seakan – akan istri menjadi objek penderita. Disorot terus untuk berbakti kepada suami. Gampang kok, asal istri bisa taat suami, surga. Sedangkan suami menjadi subjek yang harus dipuaskan. Enak dan menangan terus. Lupa apa yang harus dilakukan agar terjadi hubungan yang baik seperti itu. Kebanyakan yang ada hanya tuntutan, tanpa tuntunan. Seperti dinina – bobokan, dalam memahami lurus dalil itu saya dilupakan pada prinsip kondisi menang – menang, tanpa ada pihak yang merasa dikalahkan. Untuk bisa memahaminya, memperjelas situasi yang ada, terbersit dalam hati saya sebuah hadits awal yang menceritakan definisi orang yang baik.
Rasulullah SAW bersabda; “Sebaik-baik kalian ialah orang yang paling baik perilakunya terhadap istrinya, dan aku adalah orang yang paling baik dari kalian dalam memperlakukan istriku.” (HR. At Tirmidzi)
Hadits ini menekankan tuntutan agar suami memberikan tuntunan berbuat baik kepada istri. Menjadi yang terbaik. Sedangkan dalil yang pertama di atas adalah peringatan agar istri berbuat baik juga terhadap suaminya. Jadi imbang bukan? Tak ada yang harus merasa dirugikan karena semua berusaha menebar kebaikan. Maka, ketika dibacakan dalil di atas, dalam lorong waktu pikiran terdalam diri saya muncul pertanyaan, “Apa yang akan dikatakan istri saya ketika saya nanti mati? Apakah saya tipe suami yang baik? Perhatian dengan keluarga, sayang istri dan gaul dengan anak – anak? Atau saya adalah tipe suami yang “brengsek”? Cuek? Mau menang sendiri?” Itulah pertanyaan – pertanyaan yang menggelayut bagai awan di sanubari. Hitam. Tebal. Mencekam.
Sambil meretas waktu dan menunggu godot, maka ada semacam cita – cita sederhana yang tercanang dalam diri saya mulai sekarang. Tanpa rasa malu, mengakui kekurangan untuk merintis jalan keluarga bahagia. Berbenah dan berbenah lagi. Tak lain adalah untuk menjadi suami terbaik bagi istri dan menjadi bapak teladan buat anak – anak saya. Saya pikir itu sudah cukup. Tak berlebih. Tak perlu ketenaran. Tak perlu pujian. Setidaknya ketika saya mati nanti, itulah kalimat penyaksian terakhir yang keluar dari mulut mereka, bahwa mereka telah memiliki seseorang terbaik dalam hidupnya. Dan untuk cita – cita sederhana itu pun masih banyak yang harus diperbuat. Tak bisa dengan tinggal diam dan duduk manis saja.
Oleh;Ustadz.Faizunal Abdillah