Setelah menjejakkan 14 langkah, maka pada episode ini, rasanya saya ingin menyudahi rangkaian tulisan ini. Namun perlu diketahui, ini bukan harga mati. Kalau ada waktu, bahan, masukan dan hal yang perlu diketengahkan lagi, fainsya Allah akan berlanjut. Sebenarnya masih banyak yang bisa ditulis. Namun sebagai bagian dari pembelajaran itu sendiri, sikap instrospeksi dan rasa mutawari, saya memilih untuk jeda, rehat sejenak sembari banyak mendengar lagi dan mengamati diri sendiri serta memperhatikan lingkungan sekitar. Ngaji dan ngaji lagi. Jangan sampai kaburo maqtan dan seperti lilin – lilin kecil, menerangi tetapi membakar diri sendiri. Nggak mau kan? Nah, pada kesempatan ini, saya ingin menyampaikan pokok permasalahan, yaitu bagaimana memperoleh kebahagiaan. Bahwa kebahagiaan adalah kondisi tanpa syarat. Artinya ketika banyak syarat yang dijadikan ukuran, maka akan semakin susah untuk mengejarnya. Misal, saya akan bahagia jika saya sudah punya rumah. Saya akan bahagia jika saya sudah punya anak. Saya akan bahagia jika saya sudah punya mobil, handpone, laptop, punya ini, punya itu, begini, begitu, dsb. Itu semua hanya penyekat, seperti jaring laba – laba. Kelihatannya bermanfaat, tapi sebenarnya hanya mengejar kesenangan dan kebahagiaan sesaat. Semu. Senang dan bahagia ketika meraihnya saja. Setelah itu berangsur hilang dan beralih ke yang lain. Terus dan terus begitu. Alih – alih memperoleh, justru kebahagian sejati malah menjauh. Entah kemana, seperti ikan yang mencari samudra.
“Dimanakah letak samudra, aku telah mencarinya kemana – mana, tapi tak kutemukan juga?,” katanya.
Temannya yang bijak menjawab, “Samudra adalah tempat engkau berenang sekarang ini.”
“Ah, bukan, ini hanya air saja,” sergahnya.
Nah, salah menilai, salah mengapresiasi, salah menerima akan menghilangkan makna yang sebenarnya. Samudra memang terdiri dari air juga. Dan memang susah untuk membedakannya bagi orang yang tinggal di dalamnya. Sebab ke mana – mana memang ketemu dengan air saja. Demikian juga dengan kebahagiaan. Ia ada bersama kita sejak lahir ke dunia. Sayang, jarang yang menyadarinya. Serupa dengan firman Allah: Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” Tentu mereka akan menjawab: “Allah.” Katakanlah : “Segala puji bagi Allah”; tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. (QS Lukman : 25)
Mulai sekarang katakanlah, bahwa saya akan merasa bahagia saat ini juga. Kondisi apa saja. Apa pun yang terjadi pada saya adalah yang terbaik yang diberikan Allah pada saya. Kalau berupa nikmat – syukur. Kalau berupa mushibah – istirja. Kalau berupa cobaan – sabar. Dan jika berupa kesalahan – bertaubat. Nah, empat maqodirullah inilah sebenarnya kesadaran setiap saat dan pintu gerbang kebahagian sepanjang waktu. Pemahaman yang benar dan tepat akan maqodirullah, yang sering disampaikan setiap waktu oleh para penyampai, adalah kunci utama kebahagiaan yang sebenarnya. Ia bukan pajangan penghias nasehat, tetapi bagian paling penting dalam mengarungi kehidupan dengan berlimpah kebahagiaan. Bukankah yang dicari bahagia dunia dan akhirat?
Rasulullah SAW bersabda; “Aku heran terhadap orang iman, tiada Allah memutuskan suatu perkara kecuali ia baik baginya.” (Rowahu Abu Ya’la dari Anas bin Malik.
Satu lagi yang menjadi inti, yaitu hati. Untuk itu peliharalah hati (perasaan dan pikiran). Karena padanyalah sumber utamanya. Ketika hati bisa mengerti, sabar dan pasrah, dalam menerima setiap kejadian dalam hidup ini, maka itulah puncak kebahagiaan. Baik dalam kondisi kaya maupun miskin. Nrimo ing pandum. Apa yang diberikan oleh Allah kepada kita adalah yang terbaik. Best of the best. Apakah ada yang menandingi ketika hati sudah ridho dengan apa yang menjadi hukum Allah dan Rasul? Tiada lain adalah kesyukuran kepada Yang Maha Hidup. Setidaknya kita masih diberi waktu.
Hadirlkanlah pemahaman ini di ruang keluarga. Mulailah bicara dari hati ke hati. Dari sekarang bukalah mata, buka telinga dan menata hati. Apa – apa yang kita punya adalah anugrah yang luar biasa. Dan renungkanlah: bahwa kesempuranaan kita, sebagai manusia, terletak pada ketidaksempurnaannya. Tak ada manusia sempurna. Sebab yang sempurna hanyalah Allah Yang Maha Kuasa semata. Lain tidak.
Allah berfirman : Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS al-Baqoroh 285)
Dengan Kuasanya Allah, mari kita rintis kembali jalan menuju bahagia dunia akhirat melalui keluarga yang bahagia, sakinah mawaddah warohmah.Amin…
Oleh:Ustadz.Faizunal Abdillah