Jakarta (1/9). Penyandang disabilitas tuna rungu harus mendapat perhatian yang sama, sehingga mereka bisa menjadi insan professional religius. Hal itu diungkapkan Ketua Pengajian Generus Tuna Rungu Indonesia Arif Zuhri, di Ponpes Minhaajurrosyidin, Jakarta, Sabtu (31/8).
“Kami berupaya agar warga LDII mendapatkan perhatian yang sama meskipun dalam kondisi tuna rungu. Kami berupaya memberikan pendidikan yang utuh sehingga mereka bisa menjadi manusia profesional religius dan mampu menerapkan 29 karakter luhur,” ujarnya.
Ia mengungkapkan, pengajian itu berawal dari salah satu kaum disabilitas yang menginginkan pengajian sesamanya. “Kemudian gayung bersambut dan didukung oleh pengurus-pengurus LDII untuk mengadakan kegiatan ini. Saat ini yang sudah tergabung sebanyak 35 orang dari warga LDII Jabodetabek,” ujarnya.
Ia menambahkan, partisipasi peserta pengajian semakin meningkat. Untuk itu, pihaknya akan meningkatkan intensitas pengajiannya. “Kami sudah mengagendakan pengajian ini akan dilaksanakan sebulan sekali dan bisa diikuti oleh warga LDII penyandang tuna rungu. Kaitannya dengan 29 karakter akan kami ajarkan satu per satu kepada mereka,” paparnya.
Salah satu pemateri pengajian tuna rungu Rezky Achyana mengatakan, pengajian tersebut sebagai sarana bagi warga LDII penyandang disabilitas untuk belajar ilmu agama. “Kami menilai pengajian seperti ini sangat efektif. Karena mereka juga butuh ilmu agama, agar mereka juga bisa menjadi insan yang profesional religius,” ungkapnya.
Ia menilai, saat ini kaum disabilitas masih sangat terbatas akses untuk belajar. Terutama untuk menanamkan nilai-nilai agama Islam kepada mereka. “Kami melihat mereka kesulitan mendapatkan akses dan ketika ada akses bagaimana untuk menyampaikannya. Untuk itu, kami berupaya mengumpulkan teman-teman ini untuk ikut mengaji. Dan alhamdulillah orangtuanya mendukung penuh kegiatan ini,” urainya.
Ia mengatakan, para orangtua sangat bersyukur anaknya mempunyai komunitas sesamanya dalam belajar ilmu agama. “Para orangtua mengaku senang dan bersyukur, meski menempuh jarak yang cukup jauh mereka mendatangi pengajian ini. Mereka bersyukur anaknya bisa mengaji dengan sesama komunitasnya dan memudahkan anaknya untuk menyerap ilmu yang disampaikan,” ujarnya.
Ia menerangkan, dalam menyampaikan materi disesuaikan dengan kategori umur masing-masing peserta. “Kami sebagai pemateri memperhatikan materi sesuai kebutuhan di masing-masing kelas. Misalkan untuk anak-anak, mereka diberi materi tentang adab, praktek salat dan lain sebagianya. Sedangkan yang remaja dan dewasa mereka diberi materi tentang hukum-hukum Islam, dan cara membaca Al Quran,” lanjutnya.
Hal yang selalu kami inginkan, tambahnya, bahwa mereka dengan manusia non-disabilitas itu setara. “Ketika kami sebagai orang non-disabilitas diminta untuk menerapkan 29 karakter seharusnya teman-teman ini juga harus bisa juga mengimplementasikannya,” harapnya.
Tapi selama ini mereka tidak mendapat informasi yang utuh, bagaimana mereka bisa melakukannya. “Dengan adanya pengajian ini, kami merangkul teman-teman disabilitas yang lainnya, dan kami menekankan bahwa kita mempunyai kewajiban yang sama. Kaum disabiltas dan non-disabilitas diharapkan bisa saling mendukung untuk melakukan kegiatan positif terutama dalam penerapan 29 karakter,” ujarnya.
Dalam pengajian itu, para orangtua juga diajarkan bahasa isyarat. Untuk memudahkan komunikasi sehari-hari dengan anaknya. Selain itu, para orangtua diharapkan bisa mengajar anaknya di rumah.
Salah satu penyandang tuna rungu sekaligus inisiator pengajian tersebut Ardha Ikrima mengatakan, ia pernah melihat pengajian tuna rungu di Surabaya, Jawa Timur. Lantas, ia berkeinginan pengajian warga LDII penyandang tuna rungu di Jakarta dan sekitarnya supaya diadakan.
“Akhirnya aku bertemu dengan temanku Bilqis, kami berdiskusi untuk bagaimana menyelenggarakan pengajian Al Quran dan Al Hadist khusus disabilitas tuna rungu dengan bahasa isyarat. Akhrinya kami membuat program ini,” ujarnya melalui juru bicara isyarat.
Ia bertekad, warga LDII yang mengalami kekurangan itu harus mendapatkan kesempatan yang sama, karena penting untuk bisa memahami Al Quran dan Al Hadist. “Kami bersama teman-teman juga ingin masuk surga, untuk itu kami mengajak mereka untuk mengaji,” tambahnya.
Ia mengingatkan teman-temannya untuk jangan malu mengaji. Menurutnya, karena kalau mengajinya bersama orang yang normal pendengarannya, malah dikhawatirkan ilmunya tidak bisa diserap, “Tapi kalau sesama tuna rungu bisa mudah dipahami karena gurunya juga memakai bahasa isyarat dan mereka juga tuna rungu,” tutupnya.