[TABLOID JUM’AT – SERAMBI UMMAH (Jum’at, 29 Februari – 6 Maret 2008) No. 429 – Rubrik IHWAL, Halaman 3]
Dulu disebut aliran Islam Jamaah yang membuat masyarakat alergi. Sekarang katanya LDII sudah punya paradigma baru.
Kamis (21/2) petang, tepat waktu mahrib tiba, seorang kaum Masjid Al-Hidayah di kompleks Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) Jl. Manggis Banjarmasin Timur mengumandangkan adzan dengan menggunakan pengeras suara.
Masjid yang berlantai dua itu cukup sederhana, tempat imam memimpin sholat pun hanya sebuah sajadah. Satu per satu jamaah di kompleks LDII itu berdatangan. Kemudian shalat Maghrib pun digelar dipimpin seorang imam dengan mengenakan baju gamis.
”Lebih rapat lagi shafnya, mas” saran seorang jamaah kepada kru Serambi UmmaH. Begitu shaf sudah rapat dan rapi, baru sang imam memulai shalat. Shalat maghribnya, tidak ada yang beda, sama tiga rakaat, namun saat bangkit dari ruku, jamaahnya lebih kerasmengucapkan ”rabbana lakal hamdu.”
Uniknya lagi, pakaian jamaah LDII, baik yang shalat menggunakan celana panjang, baju gamis, ataupun sarung, posisinya berada di atas mata kaki.
Saat shalat berjalan, imam hanya menggunakan pengeras suara dalam masjid. Usai shalat, imam dan para jamaahnya wiritan asing-masing, persis sepertiyang dipraktikan di masjid-masjid kebanyakan, meskipun posisi wanitanya berada paling belakang.
Bagusnya, usai shalat Maghrib para remaja putra dan putri berumur belasan tahun mengikuti pengajian hadis-hadis. Setiap jamaah di tangannya terdapat semacam kitab. Mereka mendengarkan sambil menulis apa yang diterangkan ustadnya.
Kitab yang dipegangi para jamaahnya bertulisan Arab dan para stri yang menulis apa yang diterangkan ustadnya juga menggunakan huruf Arab. ”Kami sedang memaknai,” ungkap seorang jamaah saat ditanya maksudnya menuis Arab dalam kitab itu. Ini mirib sekali metode yang dipraktekkan di pesantren.
Sebagian pelajaran yang mereka bahas saat itu seputar sejarah Nabi Yusuf, dan di akhir pelajaran mereka mengurai tentang Surat Al-Munafiqun baian ayat-ayat terakhir.
Selama sholat Maghrib sampai Isya dimasjid LDII itu tidak ditemukann seperti anggapan miring selama ini bahwa shalat di LDII itu bagi yang bukan jamaahnya, maka bekas orang sholat itu akan mereka bersihkan.
Bahkan jamaah remaja, dewasa, dan ua, sanga ramah. Perbincangan pun mengalir lancar, padahal mereka sebelumnya tidak tahu sedang berhadapan dengan sorang wartawan.
Hujan Duit
Ad lagi yang unik di Masjid Al-Hidayah LDII ini, saat mengikuti shalat Jumat (22/2) para jamaah yang ingin menginfakkan uangnya ke masjid, cukup melemparkan ke depan, sehingga leparan itu terlihat bersambung. Rata-rata mereka melempar uang kertas, meski ada sebagian anak-anak yang juga melempar uang logam.
Menariknya lagi, jamaah Jumat yang berada di lantai atas, juga turut melemparkan uangnya ke lantai bawah, sehingga terkesan seperti hujan duit. Suasana ini semakin tampak saat usai shalat Jumatan dan berdoa.
Rangkaian shalat Jumat di masjid LDII ini memakai adzan dua kali, mirip yang dipraktikkan kaum Nahdliyin. Namun yang terunik lagi, masjid ini tidak menggunakan mimbar seperti di masjid kaum Nahdliyin dan tidak pula menggunakan podium seperti di masjid Muhammadiyah.
Mereka cukup menggunakan yang sangat sederhana dan lebih praktis, yaitu sebuah kursi. Dan kursi itu pun fungsinya hanya sebagai tempat khatib tatkala duduk antara dua khutbah Jumat. Sedangkan posisi khatib berkhutbah berdiri di samping kursi, tepatnya berada di atas tempat imam memimpin shalat.
Pada shaf shalat Jumat paling belakang diisi pula jamaah wanita yang shalatnya tanpa embel-embel dinding penghalang. Menariknya lagi di masjid ini khutbahnya menggunakan bahasa Arab.
Pelaksanaan shalat Jumat di masjid terseut dipenuhi jamaah, namun jamaah yang hadir mayoritas datang dariluar kampung tersebut.
Menurut Drs Hermansyah, dirinya sempat beberapa kali shalat Jumat, Dzuhur dan Ashar di masjid Al-Hidayah LDII.
”Praktik ibadahnya sama seperti yang dipraktikkan warga Muhamadiyah dan NU, tidak ada hal yang aneh,” jelas Camat Banjarmasin Timur ini.
Hermansyah yang kantornya sangat berdekatan dengan komplek LDII Jl Manggis ini menuturkan, LDII yang dulunya bernama Islam Jamaah dan terkesan sangat tertutup, kini sudah tidak lagi.
Namun, kata camat teladan Banjarmasin ini, sampai sekarang masih ada sebagian beranggapan bahwa LDII itu tetap seperti dulu. ”Tak heran, jika ada warga sekitar baliung dan memilih shalat di masjid depan kantor saya ketimbang di masjid LDII,” beber Hermansyah. Karena itu, ia menyarankan agar LDII terus berinteraksi dan menyosialisasikan paradigma barunya.
Ada Pengajian Cabe Rawit
HM Darban mengakui khatib Jumat di Masjid Al-Hidayah LDII menggunakan bahasa Arab. ”Kebetulan jamaah yang hadir shalat Jumat pada umumnya warga LDII yang memang mengerti bahasa Arab, mulai dari remajanya hingga generasi tuanya,” jelas Ketua LDII Kalsel ini.
Mereka bisa tulis, baca, dan berbahasa Arab, karena sejak usia TK sudah dididik belajar Alquran hingga ke tingkat yang lebih tinggi disesuaikan dengan usianya.
”Karena itu, di tempat kami ini ada pengajian kalangan cabe rawit untuk usia TK dan SD,” jelas HM Darban kepada Serambi UmmaH.
Jadi, ada pengajian tingkat cabe rawit, muda/mudi, dewasa/mahasiswa hingga orang tua, dan guru-gurunya sudah kami sediakan, tambah Darban..
*** Ibrahim Ashabirin