Alhamdulillah rasanya segar kembali, ketika membaca email dari milis –tulisan Saudara Arif – beberapa waktu yang lalu. Kenapa? Sebab darinya saya mendapat feed back untuk melanjutkan kembali tulisan tentang kepemimpinan. Sebagaimana yang pernah saya tulis sebelumnya, banyak orang yang bermasalah dalam memahami konsep – konsep kepemimpinan ini. Dan berikut cerita menarik yang secara rinci disajikan oleh Saudara kita, dengan beberapa editing.
Pada suatu waktu dalam suatu perhelatan rapat/diskusi diDesa, muncul permintaan pak lurah setempat untuk “melayangkan” teguran kepada salah satu aghnia atau orang kaya. Alasannya, lantaran ia tidak bersedia memberikan pinjaman ‘uang’, menyebabkan salah satu warga desa, akhirnya pinjam ke “rentenir” dengan “bunga-berbunga” alias riba. Jadi, terjerumusnya orang tersebut ke dalam urusan riba dikarenakan oleh “kesalahan” si orang kaya. Sebab diberi kefadholan sebagai orang kaya, tapi tidak mau memanfaatkan kekayaannya untuk membantu warga lainnya. Begitu kesimpulannya.
Saya sungguh senang membaca beberapa tanggapan yang masuk. Sangat variatif, menambah wawasan dan menggugah pemikiran. Namanya juga orang banyak tentu banyak pendapat dan pandangan. Sebagian orang malah menyebutnya mencerahkan. Saya sendiri memang tidak on line untuk nimbrung di dalamnya. Namun sejatinya saya amat menikmatinya. Di samping itu, ada hal penting yang perlu kita tarik dari kisah itu sebagai pembelajaran utama. Tanpa bermaksud menggurui dan memancing di air keruh, sebenarnya kita bisa menelaah dan menyederhanakan permasalahan ini dari satu sudut pandang saja. Problem utama dalam cerita di atas dan cerita – cerita sesudahnya (yang tidak saya muat di sini) tak lain adalah masalah kepemimpinan. Beginilah potret kepemimpinan yang ada di masyarakat kita, bahkan – kalau mau jujur – di negeri ini. Banyak orang yang masih bermasalah dalam memahami apa itu kepemimpinan?
Ada dua arus utama dalam hal pemahaman kepemimpinan ini. Pertama, arus orang – orang yang mengaku dirinya sebagai pemimpin. Yaitu orang – orang yang punya kedudukan atau jabatan. Orang – orang ini tidak punya kapabilitas untuk memimpin, tetapi karena kedudukan dia harus melakukan apa yang disebut memimpin dan menganggap/merasa dirinya sebagai pemimpin. Dan merasa bisa memimpin. Mereka memberikan perintah, memberikan arahan dan memberikan keputusan. Mereka didengar, mereka dihormat, tetapi sebenarnya semu. Termasuk dalam golongan arus pertama ini adalah orang yang over confidence dalam hal kepemimpinan. Dia suka ngatur dan berlagak kayaknya seorang pemimpin. Hal ini bisa dilihat di sekitar kita. Banyak orang di masyarakat kita menjadi layaknya pemimpin. Semua mau mengatur. Semua mau didengar. Semua mau dihormat. Tak ada yang mau diatur, menghormat dan sedikit mendengarkan.
Arus kedua, adalah yang berada di seberangnya, yaitu orang – orang yang tidak merasa atau bercita – cita menjadi pemimpin. Merasa tidak pantas jadi pemimpin. Merasa tidak pengin menjadi pemimpin. Bahkan mencap dirinya sebagai abdi. Sebab dia bukan pejabat, tidak punya kedudukan ataupun silsilah keturunan. Merasa menjadi bawahan terus, minta dibimbing terus dan diurusi terus. Orang – orang semacam ini punya problem kepercayaan diri. Termasuk dalam golongan ini adalah orang – orang yang minta diperhatikan terus. Diemong terus. Dan tak pernah cukup, dengan bebagai alasan. Merengek. Mentalitas seperti ini banyak tersebar di sekitar kita. Dalam rangkaian email yang dikirimkan Saudara kita, contohnya seperti warga yang meminta pinjaman uang untuk ganti HP. Baik arus pertama maupun arus kedua umumnya terjebak pada patron: memimpin adalah mengalahkan orang lain. Inilah kesalahan itu. Memimpin bukan mengalahkan. Dan dipimpin bukan dikalahkan.
Mudah – mudahan ilustrasi berikut bisa memberikan gambaran yang tegas konsep sebuah kepemimpinan. Tersebutlah kisah persaingan antara Matahari dan Angin. Keduanya berunjuk gigi untuk memperoleh predikat siapa yang terhebat, Angin apa Matahari. Dan jurinya adalah Langit. Suatu hari ada seorang pria berjaket kulit hitam keluar dari rumahnya. Langit pun berkata, “Mari kita uji siapa diantara kalian yang hebat? Caranya siapa yang paling cepat bisa melucuti jaket pria yang baru keluar rumah itu.”
Angin mendapat giliran yang pertama, maka dia menyerang pria itu dari kecepatan kecil, sepoi – sepoi sampai dengan kecepatan yang besar, agar pria itu mau membuka jaketnya. Namun apa yang terjadi, semakin kencang angin bertiup, justru semakin kuat pria itu mendekap jaketnya. Akhirnya si Angin pun menyerah. Ia tidak bisa melepas jaket pria itu. Giliran kedua, si Matahari. Ia hanya meningkatkan suhu di sekeliling pria itu, dari sejuk, kemudian hangat, kemudian agak panas dan terakhir panas sekali. Hasilnya, dengan suka rela si pria itu melepas jaket kulitnya. Dengan kesadarannya dia merespon apa yang terjadi di sekitarnya dengan memulainya dari dirinya sendiri. Bukan yang lain. Kepemimpinan adalah seperti matahari. Sedangkan manajerial, kekuasaan ataupun kedudukan laksana angin.
Nah, tatkala kita mengingat asasi kullukum ro’in camkanlah selalu kaidah matahari ini dalam kepemimpinan. Maka, saya pun terinspirasi dengan surat Asy-Syams (1 – 7); “Demi matahari dan cahaya (dhuha) -nya, dan bulan apabila mengiringinya, dan siang apabila menampakkannya, dan malam apabila menutupinya. Dan langit serta yang membangunnya. Dan bumi serta yang membentangkannya. Dan diri serta yang menyempurnakannya.” Sebab tanpa malu dan ragu lagi, sudah seyogyanya kita belajar pada sang mentari ini.
Oleh:Ustadz.Faizunal Abdillah